Ketika Usaha Pahlawan dan Pengorbanan Rakyat Dianggap Tidak Berguna
Sejarah bangsa ini tak lahir dari ruang hampa. Ia dibangun dengan cucuran darah, keringat, dan air mata mereka yang disebut pahlawan dan rakyat jelata. Mereka yang namanya kadang tak tercatat dalam buku sejarah, tetapi jasanya menancap di tanah negeri ini. Mereka melawan penjajahan, menentang ketidakadilan, menolak ketertindasan.
Namun hari ini, ketika negeri ini telah disebut merdeka, pertanyaan pahit harus diajukan: untuk siapa semua usaha itu? Apakah pengorbanan pahlawan dan rakyat dulu benar-benar dihargai, atau justru dilupakan?
Bangsa yang Melupakan Sejarahnya
Di jalan-jalan kota, patung-patung pahlawan berdiri tegak. Di buku-buku pelajaran, nama-nama mereka disebut. Tapi di hati para penguasa, entah masih tersisa atau tidak.
Negeri yang kaya ini tetap menyisakan kemiskinan di banyak sudutnya. Pengangguran melonjak. Rakyat kecil sibuk berebut sisa-sisa kesejahteraan. Sementara politikus sibuk dengan pesta pora kekuasaan. Korupsi merajalela. Janji tinggal janji. Usaha para pahlawan yang dulu berjuang demi masa depan rakyat kini seakan tidak berguna di mata mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan.
Dari Tetes Darah ke Politik Uang
Dulu, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Soekarno, Hatta, dan ribuan pejuang lain melawan dengan senjata, bambu runcing, dan semangat kemerdekaan. Hari ini, pertempuran itu berganti rupa: menjadi perang rebutan tender proyek, pemilu transaksional, dan dagang posisi di birokrasi.
Rakyat dulu merelakan nyawa demi kebebasan. Kini, rakyat dipaksa menjual harga dirinya demi sekantong sembako lima tahunan. Dari Sabilillah ke politik uang. Dari tekad kemerdekaan ke transaksi suara. Dari perjuangan ke kepentingan.
Apa yang Tersisa untuk Rakyat?
Yang tersisa hanya perayaan seremonial di hari kemerdekaan. Upacara bendera, lomba balap karung, dan pidato kosong. Sementara substansi perjuangan itu sendiri telah kosong makna.
Anak-anak pahlawan kini jadi pengemis di tanah sendiri. Keturunan pejuang tinggal di rumah reyot yang nyaris roboh. Rakyat biasa dihargai hanya saat musim kampanye tiba.
Refleksi: Jangan Jadi Bangsa Pengkhianat
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Tapi bangsa yang busuk adalah bangsa yang pura-pura menghargai pahlawan saat upacara, lalu menginjak nilai perjuangan mereka setelah itu.
Jika dulu pahlawan berperang mengusir penjajah asing, hari ini musuh kita adalah penjajahan moral, kerakusan elit, dan pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Dan kita semua, baik rakyat maupun pemuda, punya kewajiban menjaga nilai itu.
Jangan sampai usaha pahlawan dianggap tidak berguna hanya karena generasi pewarisnya sibuk memperkaya diri.