Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Konsep Hukum Pendidikan Anak dalam Keluarga di Era Digital

Kamis, 07 Agustus 2025 | 20:18 WIB Last Updated 2025-08-07T13:18:31Z

 



 Antara Gawai dan Tata Nilai

Di era digital, rumah bukan lagi sekadar tempat istirahat, tetapi menjadi titik sentral peradaban baru bagi anak. Di tangan mereka, gawai bukan hanya alat hiburan, tapi juga “guru ketiga” setelah orang tua dan sekolah. Namun, siapa yang menjamin bahwa pendidikan yang diterima dari layar itu benar, bermoral, dan membangun akhlak?

Dalam kondisi seperti ini, konsep hukum pendidikan anak dalam keluarga menjadi penting untuk dibahas. Sebab pendidikan bukan hanya tanggung jawab institusi formal, tetapi juga melekat secara hukum dan moral pada keluarga. Terlebih di era digital yang penuh distraksi, polusi informasi, dan pertarungan nilai.


Urgensi Pendidikan Anak dalam Keluarga

Secara normatif, dalam konstitusi Indonesia Pasal 31 UUD 1945, negara menjamin hak setiap warga untuk memperoleh pendidikan. Namun, jauh sebelum negara hadir, keluarga adalah fondasi utama dalam membentuk karakter dan arah hidup anak.

Pendidikan anak dalam keluarga bukan hanya soal mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tetapi menyangkut penanaman nilai, etika, agama, norma sosial, dan kesadaran akan batas-batas hak dan tanggung jawab. Di era digital, hal ini makin kompleks, karena keluarga berhadapan dengan “pihak ketiga” yang tak kasat mata: internet dan algoritma.


Tantangan Era Digital bagi Pendidikan Anak

  1. Konten Tidak Terbatas dan Minim Filter
    Anak-anak kini mengakses konten tanpa batas. YouTube, TikTok, Instagram, hingga platform game menyajikan berbagai informasi yang tidak semuanya sehat secara psikologis, moral, maupun intelektual. Tanpa filter orang tua, pendidikan digital menjadi arena bebas yang justru bisa merusak.

  2. Minimnya Literasi Digital Orang Tua
    Banyak orang tua kalah cepat dengan anak dalam hal teknologi. Mereka tidak tahu cara memantau, membatasi, apalagi mendampingi anak dalam menggunakan internet. Akibatnya, kontrol atas pendidikan digital anak lepas.

  3. Ketiadaan Regulasi Keluarga yang Jelas
    Banyak keluarga belum memiliki “aturan rumah tangga digital”, seperti jam layar, situs yang boleh diakses, atau cara anak menggunakan media sosial. Akibatnya, pendidikan anak tidak punya arah dan batas.

  4. Ketimpangan Peran Ayah dan Ibu
    Dalam banyak kasus, ibu menjadi “pengasuh utama” dan ayah lebih sibuk bekerja. Padahal pendidikan anak, terutama di era digital, membutuhkan peran aktif dua orang tua. Ketidakseimbangan ini membuat pengasuhan tidak optimal.


Konsep Hukum Pendidikan Anak di Era Digital

Untuk menjawab tantangan ini, perlu dirumuskan konsep hukum pendidikan anak dalam keluarga yang sesuai dengan zaman digital. Konsep ini harus bersifat preventif, edukatif, dan partisipatif. Beberapa poin kunci antara lain:

  1. Tanggung Jawab Hukum Orang Tua dalam Pendidikan Digital Anak
    Orang tua harus sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab hukum terhadap perkembangan anak. Ini mencakup kewajiban membimbing, mengarahkan, dan mengawasi penggunaan teknologi oleh anak. UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) mempertegas bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam perlindungan anak.

  2. Pendidikan Literasi Digital Keluarga
    Negara melalui kementerian dan pemerintah daerah perlu mendorong program literasi digital keluarga. Tidak hanya anak, tetapi orang tua wajib memahami hak dan risiko digital. Dalam kerangka ini, keluarga bisa menjadi “pendidik digital pertama”.

  3. Aturan Rumah Tangga Digital
    Keluarga harus membuat kesepakatan bersama terkait penggunaan teknologi. Misalnya, jam maksimal menggunakan gawai, situs yang boleh diakses, dan apa yang boleh diposting anak. Ini bagian dari sistem hukum mikro dalam rumah tangga yang bersifat etis dan edukatif.

  4. Penguatan Peran Sekolah dan Lembaga Agama
    Sekolah dan lembaga keagamaan harus menjadi mitra keluarga. Bukan hanya mengajar anak, tetapi juga memberikan edukasi kepada orang tua tentang bagaimana mendidik anak secara utuh di era digital.

  5. Pemanfaatan Teknologi yang Edukatif dan Islami
    Di daerah berbasis syariat seperti Aceh, misalnya, teknologi dan konten digital harus diarahkan untuk mendukung nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Orang tua bisa mengarahkan anak menggunakan aplikasi pendidikan, menonton ceramah, atau membaca buku digital keislaman.


Menuju Undang-Undang atau Qanun Pendidikan Digital Keluarga?

Jika tantangan ini semakin besar dan tidak bisa diatasi dengan cara informal, maka ke depan bisa dipikirkan untuk merumuskan regulasi yang mengikat, seperti:

  • Qanun Pendidikan Digital Keluarga (untuk daerah otonomi khusus seperti Aceh),
  • atau bagian dari UU Perlindungan Anak secara nasional.

Regulasi ini bisa memberikan pedoman bagi keluarga, sanksi bagi kelalaian orang tua, dan arah pembangunan kurikulum yang mengintegrasikan etika digital sejak usia dini.


Antara Peradaban dan Kehancuran

Era digital adalah berkah, tapi juga bisa menjadi bencana jika tidak diatur dengan bijak. Pendidikan anak di era ini bukan hanya tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tetapi terutama keluarga. Tanpa kontrol, anak-anak akan tumbuh dengan identitas digital yang rapuh, mental yang kosong, dan nilai yang rusak.

Sudah saatnya hukum, agama, dan pendidikan bekerja sama dari dalam keluarga untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga kokoh dalam akhlak dan moral.

Jika keluarga gagal menjadi “madrasah pertama”, maka masa depan bangsa hanya akan diserahkan pada algoritma dan trending topic.


Azhari 
Pemerhati Pendidikan Anak dan Etika Digital