Aku menulis ini bukan untuk menuntut belas kasihan. Aku hanya ingin bercerita — tentang luka yang tidak tampak di tubuh, tapi menggerogoti hati perlahan. Tentang cinta yang dulu kuanggap suci, tapi kini menjadi kenangan pahit yang menyesakkan dada. Tentang seorang istri… yang akhirnya memilih orang lain di balik janji yang pernah kami ucapkan di depan Tuhan.
Aku dulu percaya, pernikahan adalah rumah bagi dua jiwa yang saling menguatkan. Aku berjuang keras, bekerja di tanah rantau, menahan rindu demi kebahagiaan keluarga kecilku. Aku pikir, dengan keringat dan doa, semua akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Di balik kesibukanku menjemput rezeki, ada seseorang yang diam-diam menjemput hatinya.
Cinta yang Hilang di Tengah Perjuangan
Awalnya aku tidak curiga. Istriku mulai berubah pelan-pelan. Tak lagi menyapaku dengan hangat, tak lagi bertanya kapan aku pulang. Pesannya singkat, jawabannya dingin. Aku anggap mungkin dia lelah. Tapi ternyata bukan lelah — dia hanya sudah tak lagi mencinta.
Aku tahu belakangan, bahwa ada “teman” yang sering menemaninya saat aku jauh. Seorang yang katanya hanya peduli, hanya membantu, hanya mendengar. Tapi dari “hanya” itulah, semuanya berubah menjadi pengkhianatan yang nyata. Ia menukar janji suci kami dengan rasa yang palsu.
Aku tak menyalahkan takdir. Tapi aku tak bisa menyangkal — pengkhianatan itu menghancurkan segalanya.
Ketika Kesetiaan Tak Lagi Bernilai
Bagi seorang suami, tidak ada rasa sakit yang lebih dalam dari dikhianati oleh orang yang paling dipercaya. Aku tak marah karena dia jatuh cinta pada orang lain, aku hancur karena dia melupakan segala pengorbanan yang dulu ia saksikan sendiri.
Saat aku menahan lapar di perantauan, dia mungkin sedang tertawa dengan seseorang yang memberinya perhatian sesaat.
Saat aku menunduk berdoa untuk kesejahteraan keluarga, dia mungkin sedang menulis pesan cinta yang bukan untukku.
Itulah realita paling pahit: bahwa cinta bisa berubah arah, dan kesetiaan tak selalu dihargai.
Anak Menjadi Korban, Rumah Menjadi Sepi
Yang paling aku sesali bukan kehilangan dia, tapi kehilangan suasana rumah yang dulu hangat. Anak-anak kini tumbuh di antara pertanyaan yang tak bisa kujawab. Mereka mencari ibu yang sudah tak ingin kembali, dan menatapku dengan mata penuh tanya: “Ayah, kenapa ibu pergi?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena bagaimana menjelaskan kepada anak bahwa ibunya bukan pergi karena marah, tapi karena mencintai orang lain?
Di situlah pengkhianatan menjadi luka generasi, bukan hanya kisah cinta yang gagal.
Cinta Gelap Tak Pernah Bahagia
Mungkin ia merasa bahagia sekarang. Tapi cinta yang lahir dari pengkhianatan tak pernah membawa kedamaian. Ia mungkin tampak indah di awal, tapi pada akhirnya hanya menumbuhkan penyesalan.
Karena cinta yang tumbuh dari dosa tak akan pernah menjadi restu.
Dan kebahagiaan yang diperoleh dari tangisan orang lain — cepat atau lambat — akan berubah menjadi beban batin yang tak tertanggung.
Aku percaya, waktu akan mengadili dengan caranya sendiri.
Tak ada kebahagiaan abadi dari kisah yang dimulai dengan dusta.
Penutup: Luka Boleh Dalam, Tapi Tidak Harus Membusuk
Kini aku belajar untuk menerima. Bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai harapan. Bahwa cinta sejati tak selalu berakhir bahagia. Dan bahwa kesetiaan bukan untuk ditukar, tapi untuk dijaga meski dikhianati.
Aku tak lagi membenci dia. Aku hanya menyesali kenapa ia tak memilih jujur sebelum melangkah. Karena kejujuran, walau menyakitkan, lebih mulia daripada pengkhianatan yang manis di awal.
Hari ini aku masih sendiri, tapi tidak kosong. Luka ini memang belum kering, tapi aku tahu — dari luka inilah aku belajar menjadi manusia yang lebih ikhlas.
Dan jika kelak aku mencintai lagi, aku akan mencinta tanpa lupa:
Bahwa cinta sejati bukan sekadar asmara, melainkan komitmen yang tetap setia, bahkan ketika godaan datang menggoda.