.
Cinta yang Tergadai oleh Nafsu
Tak ada luka yang lebih dalam dari ditinggalkan oleh orang yang dulu bersumpah akan setia. Ketika seorang istri ditinggal suaminya demi kekasih gelap, itu bukan hanya pengkhianatan cinta—melainkan penghancuran martabat, kepercayaan, dan harga diri.
Cinta yang dulu dibangun dengan doa dan air mata, kini roboh hanya karena godaan yang berpura-pura menjadi kasih.
Bagi sebagian laki-laki, godaan di luar rumah tangga sering terasa seperti “warna baru.” Di balik perhatian dan senyum manis, ada rasa yang seolah membangkitkan kembali gairah yang telah lama pudar. Tapi mereka lupa, kebahagiaan yang dicuri dari air mata orang lain tak akan pernah menjadi kebahagiaan yang sejati.
Janji Suci yang Dikhianati
Pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan perjanjian suci yang disebut Allah sebagai mitsaqan ghaliza — ikatan kuat dan sakral. Di hadapan saksi dan Tuhan, suami berjanji menjaga, mencintai, dan menuntun istrinya menuju ridha Allah. Namun, betapa sering janji itu berubah menjadi dusta ketika kesetiaan diuji oleh nafsu.
Berapa banyak perempuan yang setia sejak awal perjuangan? Mereka rela menahan lapar, mendampingi suami dari nol, memotivasi di saat jatuh, dan berjuang bersama dalam diam. Namun ketika roda kehidupan berputar dan kesuksesan mulai datang, sebagian suami tergoda oleh “perhatian baru” yang datang bukan karena cinta, melainkan karena rasa ingin memiliki sesuatu yang lain.
Perselingkuhan bukan tanda kurangnya cinta dari istri, tapi lemahnya moral dan spiritual suami. Cinta sejati tidak pernah tumbuh di tanah pengkhianatan.
Kekasih Gelap dan Ilusi Kebahagiaan
Sang kekasih gelap biasanya datang dengan kepandaian memainkan perasaan. Ia tahu kapan harus mendengarkan, tahu bagaimana menyanjung, dan tahu titik lemah sang suami. Ia membuat laki-laki merasa muda kembali, merasa diinginkan, merasa “dihargai.”
Namun kebahagiaan semu yang lahir dari pengkhianatan tidak akan pernah abadi.
Di awal mungkin manis, tetapi pada akhirnya akan menjadi getir. Karena cinta yang dibangun dengan kebohongan hanya melahirkan kegelisahan. Setiap sentuhan menjadi dosa, setiap senyum menjadi bayangan ketakutan.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada seorang laki-laki yang menanamkan benih di rahim yang tidak halal baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Perselingkuhan adalah bentuk kehinaan moral. Ia bukan hanya mencederai pasangan sah, tapi juga menghancurkan nilai kemanusiaan dalam diri pelaku.
Luka yang Tak Terlihat
Ketika seorang istri ditinggalkan demi perempuan lain, luka yang dirasakan bukan hanya di hati, tetapi juga di batin yang paling dalam. Ia mempertanyakan dirinya sendiri: Apa kurangku? Di mana salahku?
Padahal, kesalahan itu bukan miliknya. Ia hanya korban dari seseorang yang tidak mampu menahan godaan dunia.
Luka seorang istri sering kali tak terlihat. Ia tetap tersenyum di hadapan anak-anak, tetap menjalankan peran di rumah, meski di dalam dirinya badai sedang bergemuruh. Ia harus menanggung malu di hadapan masyarakat, bahkan kadang dihakimi tanpa tahu kebenaran.
Namun, dari perempuan yang terluka itu sering lahir kekuatan luar biasa. Ia belajar berdiri sendiri, belajar menerima kenyataan, belajar bahwa hidup harus terus berjalan meski cinta telah pergi.
Dalam psikologi disebut betrayal trauma — trauma akibat pengkhianatan yang membuat seseorang kehilangan kepercayaan bahkan pada kebaikan.
Dosa yang Tak Pernah Menenangkan
Lelaki yang meninggalkan istri sah demi kekasih gelap sering kali merasa bebas. Tapi di balik kebebasan itu ada kegelisahan yang tak pernah padam. Sebab dosa tidak pernah memberi ketenangan.
Kebahagiaan mereka hanyalah topeng. Lambat laun, rasa bersalah akan datang, terutama saat melihat istri yang dulu disia-siakan justru tetap tegar membesarkan anak-anak dengan penuh cinta.
Perselingkuhan tidak hanya menghancurkan dua hati, tapi juga generasi. Anak-anak akan tumbuh dengan luka psikologis yang dalam. Mereka belajar bahwa ayah bisa berbohong, dan cinta bisa mengkhianati janji. Trauma itu bisa diwariskan.
Agama dan Hukum: Dua Cermin Kehinaan
Dalam pandangan Islam, zina dan perselingkuhan adalah perbuatan keji. Allah dengan tegas berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Perselingkuhan bukan hanya tindakan fisik, tapi segala bentuk kedekatan emosional yang melampaui batas pernikahan: pesan rahasia, perhatian tersembunyi, pertemuan diam-diam. Itulah awal kehancuran rumah tangga.
Dari sisi hukum positif, Pasal 284 KUHP menegaskan bahwa perzinaan dapat dihukum, meskipun dalam praktik pembuktiannya sulit. Namun di mata masyarakat dan moralitas sosial, stigma terhadap pelaku perselingkuhan akan terus melekat.
Harga diri yang tercoreng jauh lebih menyakitkan daripada hukuman penjara.
Ketika Penyesalan Datang Terlambat
Waktu berjalan, dan banyak di antara pelaku perselingkuhan yang akhirnya datang dengan wajah penyesalan. Mereka mulai sadar bahwa perempuan yang dulu mereka tinggalkan itulah yang paling tulus mencintai.
Namun kesadaran itu datang terlambat. Rumah tangga sudah hancur, anak-anak sudah tumbuh tanpa kasih sayang yang utuh, dan hati yang dulu penuh cinta kini membeku oleh luka.
Penyesalan selalu datang setelah semuanya berakhir. Tapi yang tak banyak disadari, Allah Maha Pengampun, asalkan ada taubat yang tulus dan keinginan untuk memperbaiki diri.
Namun, tak semua dosa bisa ditebus hanya dengan waktu—sebagian harus ditebus dengan air mata, tanggung jawab, dan kesadaran yang mendalam.
Kekuatan Perempuan dalam Memaafkan
Tidak semua istri yang dikhianati memilih dendam. Ada yang diam, ada yang memaafkan, ada yang melanjutkan hidup tanpa menoleh ke belakang.
Memaafkan bukan berarti melupakan. Ia adalah keputusan untuk tidak lagi membiarkan luka mengendalikan hidup. Karena kebencian hanya akan membuat hati mati perlahan.
Perempuan yang memaafkan, sejatinya sedang memuliakan dirinya sendiri. Ia tidak menuntut balas, karena ia percaya bahwa Tuhan akan menjadi hakim yang paling adil.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Memaafkan bukan tanda lemah, melainkan bukti kebesaran jiwa. Ia membuktikan bahwa cinta sejati tak berakar pada kepemilikan, tetapi pada ketulusan.
Refleksi untuk Laki-Laki
Laki-laki sejati tidak diukur dari seberapa banyak perempuan yang bisa ia taklukkan, tapi seberapa mampu ia menjaga satu hati yang setia.
Pemimpin keluarga bukan berarti berkuasa atas cinta, tapi bertanggung jawab menjaga keutuhan rumah tangga.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Maka, suami yang meninggalkan istrinya demi kekasih gelap seharusnya malu menyebut diri sebagai pemimpin. Sebab ia gagal dalam hal paling dasar: menjaga amanah.
Laki-laki sejati bukan yang mencari kesempurnaan di luar rumah, tetapi yang memperbaiki kekurangan di dalam rumahnya sendiri.
Luka yang Menjadi Cahaya
Pada akhirnya, setiap luka akan menemukan jalannya menuju cahaya. Bagi istri yang ditinggalkan, kesedihan itu bukan akhir dari segalanya. Kadang Tuhan mengambil seseorang dari hidupmu bukan untuk menghukum, tapi untuk menyelamatkanmu dari kehidupan yang salah.
Perempuan yang mampu bangkit dari pengkhianatan akan menemukan dirinya lebih kuat dari sebelumnya. Ia belajar mencintai dirinya, menjaga anak-anaknya, dan menata kembali hidup tanpa bergantung pada siapa pun.
Sebab cinta manusia bisa hancur, tapi kasih Tuhan tidak pernah pergi.
Dan bagi para suami yang kini menatap masa lalu dengan penyesalan, ingatlah: cinta yang sejati tidak mungkin tumbuh dari air mata orang lain.
Karena setiap perempuan yang disakiti akan berdoa—dan doa perempuan yang teraniaya tidak ada hijab antara dirinya dan Tuhan.
Penutup
Cinta sejati tidak pernah meninggalkan di saat sulit, tidak pernah mengkhianati di saat jenuh. Ia memilih bertahan, memperbaiki, dan berjuang.
Perselingkuhan mungkin memberi sensasi sesaat, tapi menghancurkan seluruh kehidupan yang telah dibangun dengan susah payah.
Jangan menukar surga rumah tangga dengan neraka penyesalan.
Karena ketika istri ditinggal demi kekasih gelap, sesungguhnya bukan istri yang kehilangan, tetapi suami yang telah kehilangan segalanya: cinta, keberkahan, dan kehormatan.
Tentang Penulis:
Azhari adalah pemerhati sosial dan isu perempuan Aceh, aktif menulis opini reflektif tentang nilai moral, keluarga, dan perempuan dalam konteks budaya Aceh.