Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hutan Gundul, Aceh Banjir: Ketika Alam Menagih Keserakahan

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:47 WIB Last Updated 2025-12-17T16:47:25Z



Aceh kembali banjir. Air meluap, sungai tak sanggup menampung hujan, dan desa-desa di hilir menjadi korban. Setiap musim hujan, peristiwa ini seakan berulang—dan setiap kali pula kita bertanya dengan nada pasrah: mengapa banjir terus terjadi? Jawabannya sebenarnya sederhana, meski pahit: hutan gundul.

Hutan adalah benteng alami Aceh. Ia menyerap air, menahan tanah, dan mengatur siklus alam. Ketika hutan dirusak—ditebang, dibakar, dan dibuka tanpa kendali—fungsi itu lenyap. Hujan yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi ancaman. Air turun tanpa penahan, mengalir deras ke sungai, lalu meluap ke rumah-rumah rakyat.

Kerusakan hutan di Aceh bukan rahasia. Izin-izin bermasalah, pembalakan liar, dan alih fungsi lahan terjadi bertahun-tahun. Ironisnya, semua ini sering dibungkus dengan dalih pembangunan dan investasi. Namun siapa yang menikmati hasilnya? Bukan petani kecil di hilir, melainkan segelintir pihak yang jauh dari lokasi banjir.

Banjir akibat hutan gundul adalah bencana yang dibuat manusia. Alam hanya menjalankan hukum sebab-akibat. Ketika lereng gundul, tanah kehilangan pegangan. Ketika sungai dipersempit, air mencari jalan sendiri. Dan ketika peringatan diabaikan, korban tak terelakkan.

Dampaknya bukan sekadar materi. Keluarga kehilangan rumah dan mata pencaharian. Anak-anak trauma, pendidikan terputus. Perempuan dan lansia berada dalam risiko tertinggi. Banjir adalah tragedi sosial yang akarnya tertanam di hutan yang dirusak.

Sayangnya, pasca banjir, solusi sering bersifat kosmetik. Normalisasi sungai tanpa pemulihan hulu, bantuan darurat tanpa penegakan hukum lingkungan. Padahal tanpa menghentikan perusakan hutan, banjir hanya menunggu musim berikutnya.

Aceh memiliki keistimewaan: hutan luas, adat kuat, dan nilai keislaman yang menempatkan alam sebagai amanah. Seharusnya Aceh bisa menjadi contoh perlindungan hutan berbasis adat dan hukum. Mukim, gampong, dan masyarakat adat mesti diperkuat sebagai penjaga hutan—bukan disingkirkan oleh kepentingan modal.

Negara dan pemerintah daerah harus tegas. Cabut izin yang merusak, tindak pelaku ilegal logging, dan hentikan alih fungsi lahan di kawasan rawan. Perlindungan hutan bukan agenda lingkungan semata; ia adalah kebijakan keselamatan rakyat.

Banjir di Aceh adalah alarm keras. Selama hutan terus digunduli, air akan terus datang membawa derita. Menyelamatkan Aceh dari banjir berarti menyelamatkan hutannya. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?


Penulis AZHARI