Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ketika Angka Menjadi Algojo: Ekonomi yang Membunuh Perlahan

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:22 WIB Last Updated 2025-12-27T18:23:33Z
Di sebuah gedung kaca yang menembus awan, seorang pria menyesap kopi seharga upah harian buruh tani, sambil tertawa kecil melihat grafik saham yang menghijau. Di saat yang sama, hanya beberapa kilometer di bawahnya, seorang ibu menatap sisa beras di dalam karung dengan pandangan kosong—menghitung apakah cukup untuk menipu lambung anak-anaknya hingga esok pagi
.
Darah tidak harus tumpah untuk menyebut sebuah kejadian sebagai pembunuhan.
Kadang, pelatuknya bukan pistol, melainkan tagihan listrik yang menunggak, harga cabai yang tak masuk akal, dan gaji yang berhenti tumbuh sementara kebutuhan berlari tanpa ampun.
Inilah wajah ekonomi yang jarang dibicarakan: ia tidak membunuh secara frontal, tetapi perlahan, senyap, dan dilegalkan.

Ketika Angka Menjadi Hakim
Kita sering menganggap ekonomi sebagai urusan angka-angka membosankan di layar televisi, grafik naik-turun di presentasi pejabat, atau jargon teknokratis dalam forum elite. Namun bagi rakyat jelata, ekonomi bukan teori—ia adalah hakim kehidupan.

Ekonomi menentukan siapa yang berhak mendapatkan perawatan medis terbaik, dan siapa yang hanya disuruh “banyak berdoa”. Ia memutuskan siapa yang bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, dan siapa yang harus menerima kenyataan pahit bahwa mimpi anaknya berhenti di bangku SMP.
Ekonomi bukan sekadar statistik pertumbuhan.

Ia adalah rantai yang menentukan panjang-pendeknya napas manusia.
Cara Ekonomi Menghabisi Kita Perlahan
Ekonomi tidak menyerang jantung secara langsung. Ia menggerogoti kehidupan melalui cara-cara yang sistematis dan nyaris tak terlihat.

Pertama, ia membunuh waktu.
Banyak dari kita tidak lagi benar-benar hidup, kita hanya bertahan. Bekerja 12 hingga 14 jam sehari, berangkat saat gelap dan pulang ketika malam kembali memeluk jalanan. Seluruh masa muda ditukar dengan cicilan, sewa rumah, dan biaya hidup yang tak pernah memberi jeda.
Waktu bersama keluarga menjadi barang mewah. Istirahat dianggap kemalasan. Hidup direduksi menjadi rutinitas tanpa makna.

Kedua, ia membunuh hubungan.
Berapa banyak meja makan berubah menjadi medan perang karena uang? Berapa banyak rumah tangga runtuh bukan karena cinta yang habis, tetapi karena perut yang lapar dan pikiran yang lelah?

Angka perceraian melonjak bukan karena manusia berhenti saling menyayangi, tetapi karena tekanan ekonomi mencekik akal sehat. Saat hidup terasa seperti pertarungan harian, romantisme menjadi kemewahan yang tak terjangkau.
Ketiga, ia membunuh masa depan.

Ekonomi adalah pencuri mimpi paling kejam. Ia hadir dalam wujud balita stunting karena susu mahal, anak-anak cerdas yang terpaksa putus sekolah karena biaya pendidikan mencekik, dan generasi muda yang kehilangan harapan bahkan sebelum sempat mencoba.
Masa depan tidak runtuh karena malas, tetapi karena tidak diberi kesempatan.
Kesenjangan: Yang Kenyang Menasihati Yang Lapar
Pemandangan paling pahit hari ini adalah menyaksikan mereka yang berada di puncak piramida dengan enteng menasihati masyarakat bawah untuk “bekerja lebih keras” atau “hidup lebih hemat”.

Bagaimana mungkin seseorang berhemat jika seluruh pendapatannya habis hanya untuk ongkos menuju tempat kerja dan makanan paling dasar? Bagaimana mungkin bekerja lebih keras jika tenaga sudah habis hanya untuk bertahan hidup?
Kesenjangan hari ini bukan lagi soal gaya hidup, melainkan ketidakadilan struktural.
Yang kaya membeli umur dengan teknologi medis terbaru.
Yang miskin menukar umur mereka dengan polusi, stres, dan upah minimum.
Sistem ini sering disebut “bermasalah”, padahal kenyataannya lebih jujur jika kita berkata:

sistem ini tidak rusak—ia bekerja persis seperti yang dirancang.
Menggemukkan yang sudah makmur, dan memeras mereka yang hampir hancur.
Ketika Pertumbuhan Menjadi Kebohongan
Kita kerap bertepuk tangan saat ekonomi tumbuh lima persen. Namun apa artinya pertumbuhan jika angka bunuh diri meningkat, pinjaman online mencekik keluarga miskin, dan rakyat dipaksa menjual masa depan demi bertahan hari ini?

Pertumbuhan yang mengorbankan martabat manusia bukan keberhasilan—ia adalah kebohongan yang dipoles data.
Saat manusia direduksi menjadi unit produksi, maka penderitaan dianggap biaya yang bisa ditoleransi. Padahal setiap angka dalam statistik itu adalah nyawa, keluarga, dan harapan.
Refleksi: Kita Bukan Sekadar Angka
Sudah saatnya kita berhenti memuja angka dan mulai memulihkan nurani. Manusia bukan grafik. Rakyat bukan variabel. Kehidupan tidak bisa diukur hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata.
Jika hari ini Anda masih bisa membaca tulisan ini dengan tenang, ingatlah: di luar sana, jutaan orang sedang “dibunuh” secara perlahan—oleh sistem yang kita sebut normal, oleh kebijakan yang kita anggap wajar, oleh ketimpangan yang kita biarkan berlangsung.
Sebab pada akhirnya, kemiskinan bukan sekadar nasib buruk.
Ia adalah kejahatan yang dibiarkan,
oleh sistem yang terlalu sibuk menghitung laba,
namun lupa menghitung luka.