Aceh bukan negeri yang asing dengan bencana. Dalam lintasan sejarahnya, tanah ini berkali-kali diuji oleh gempa, tsunami, konflik, dan banjir. Namun, banjir yang melanda Aceh pada 25 November 2025 akan tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling parah—bukan hanya karena luas wilayah terdampak, tetapi karena besarnya penderitaan yang harus ditanggung rakyat dalam sunyi.
Air datang tanpa ampun. Dalam hitungan jam, rumah-rumah tenggelam, sawah lenyap, ternak hanyut, dan ribuan jiwa terpaksa mengungsi. Dari Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, hingga wilayah lainnya, kisahnya serupa: warga terbangun di malam hari dengan air setinggi dada, menyelamatkan anak-anak seadanya, lalu pergi tanpa tahu kapan bisa pulang.
Dalam sejarah Aceh, banjir pernah terjadi berkali-kali. Namun tragedi 25 November 2025 memiliki luka yang berbeda. Ia bukan sekadar peristiwa alam, tetapi akumulasi dari kelalaian panjang: kerusakan lingkungan, pendangkalan sungai, alih fungsi lahan, tata ruang yang abai, serta sistem mitigasi yang lemah. Alam memang murka, tetapi manusia turut menyumbang sebabnya.
Yang paling menyakitkan dari bencana ini adalah nasib korban setelah air surut. Ribuan warga hidup di pengungsian tanpa kepastian. Anak-anak kehilangan sekolah, orang tua kehilangan pekerjaan, dan keluarga kehilangan ruang aman bernama rumah. Pengungsian berubah menjadi ruang menunggu—menunggu bantuan, menunggu janji, menunggu perhatian yang sering kali datang terlambat.
Sejarah Aceh mengajarkan bahwa rakyatnya kuat dan sabar. Namun kesabaran tidak boleh terus diuji tanpa keadilan. Tidak adil jika korban banjir dipaksa tabah sementara akar persoalan tak pernah diselesaikan. Tidak adil jika penderitaan rakyat hanya menjadi statistik laporan, sementara kebijakan tetap berjalan seperti sebelum bencana.
Banjir 25 November 2025 seharusnya menjadi titik balik sejarah. Ia menuntut evaluasi menyeluruh: dari kebijakan lingkungan, tata kelola sungai, perizinan, hingga keseriusan negara dalam melindungi rakyatnya. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang membiarkan tragedi berulang dengan korban yang semakin banyak.
Aceh pernah bangkit dari tsunami 2004 karena dunia hadir dan negara belajar. Pertanyaannya kini: apakah negara juga mau belajar dari banjir 2025? Ataukah luka ini akan dibiarkan mengering sendiri di ingatan korban?
Sejarah tidak hanya mencatat tanggal dan peristiwa. Sejarah mencatat sikap. Dan pada 25 November 2025, Aceh kembali diuji—bukan hanya oleh banjir, tetapi oleh nurani para pengambil kebijakan.
Jika tragedi ini dilupakan, maka banjir berikutnya bukan lagi musibah. Ia adalah kegagalan yang disengaja.