Menitip Harapan Anak Aceh
Di tenda pengungsian yang lembap dan sesak, seorang anak Aceh memegang buku yang sampulnya sudah mengelupas. Halamannya basah, tintanya pudar, tetapi matanya tetap menyimpan cahaya yang sama: keinginan untuk belajar. Banjir mungkin telah merampas rumahnya, tetapi ia belum rela menyerahkan masa depannya.
Bagi anak-anak pengungsi, banjir bukan sekadar bencana alam. Ia adalah pemutus mimpi yang datang terlalu cepat. Sekolah terendam, buku hanyut, seragam hilang, dan ruang belajar berubah menjadi tenda darurat. Di usia ketika seharusnya mereka bermain dan belajar dengan aman, anak-anak Aceh justru belajar tentang kehilangan.
Pendidikan yang Terhenti oleh Air
Setiap banjir besar selalu menyisakan dampak yang sama: pendidikan menjadi korban yang jarang dibicarakan. Ketika rumah rusak dan perut lapar, sekolah sering dianggap urusan belakangan. Padahal bagi anak-anak, pendidikan bukan kebutuhan sekunder—ia adalah jangkar masa depan.
Di banyak wilayah Aceh, pasca banjir, anak-anak terpaksa berhenti sekolah sementara. Bukan karena mereka tidak ingin belajar, tetapi karena tidak ada ruang belajar, tidak ada perlengkapan, dan tidak ada kepastian kapan kehidupan kembali normal. Trauma juga menjadi penghalang yang tak terlihat. Anak-anak menyimpan ketakutan setiap kali hujan turun, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan rasa aman.
Anak Pengungsi dan Beban yang Terlalu Dini
Di pengungsian, anak-anak belajar bertahan sebelum sempat bermimpi. Mereka menyaksikan orang tuanya cemas memikirkan ekonomi, sawah rusak, dan pekerjaan hilang. Tanpa disadari, beban itu ikut mereka pikul.
Tidak sedikit anak yang akhirnya memilih membantu orang tua bekerja, meninggalkan sekolah demi bertahan hidup. Di sinilah bahaya terbesar mengintai: bencana melahirkan generasi yang terputus pendidikannya jika negara dan masyarakat lalai.
Menitip Harapan pada Pendidikan
Opini ini menitipkan satu harapan sederhana namun mendesak: jangan biarkan banjir mencuri masa depan anak Aceh. Pemulihan pasca bencana harus menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan pelengkap.
Sekolah darurat, ruang belajar sementara, distribusi buku dan seragam, serta pendampingan psikososial bukanlah bentuk kemewahan—melainkan hak dasar anak. Guru-guru perlu didukung, relawan pendidikan perlu diberi ruang, dan kebijakan harus berpihak pada keberlanjutan belajar anak pengungsi.
Pendidikan adalah cara paling manusiawi untuk memulihkan luka anak-anak. Ia memberi rutinitas, harapan, dan rasa normal di tengah kekacauan.
Tanggung Jawab Bersama
Anak pengungsi bukan hanya tanggung jawab orang tua mereka. Mereka adalah tanggung jawab kita semua: negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi sosial, dan masyarakat luas.
Aceh telah terlalu sering diuji oleh bencana. Namun ujian terbesar bukan pada air yang meluap, melainkan pada keberpihakan kita setelah air surut. Apakah kita hadir hanya saat bencana ramai diberitakan, atau tetap setia mendampingi anak-anak hingga mereka kembali duduk di bangku sekolah dengan layak?
Suara yang Tak Terdengar
Anak-anak jarang bersuara dalam forum kebijakan. Mereka tidak menulis proposal, tidak berunjuk rasa, dan tidak muncul dalam rapat-rapat anggaran. Namun justru karena itulah suara mereka harus diwakili.
Setiap anak pengungsi Aceh menitipkan harapan yang sama: ingin sekolah kembali, ingin bermain tanpa takut hujan, dan ingin tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi daerahnya.
Penutup: Menjaga Asa, Menjaga Aceh
Banjir akan surut. Tenda akan dibongkar. Jalan akan diperbaiki. Tetapi jika pendidikan anak pengungsi diabaikan, kerusakan itu akan bertahan jauh lebih lama.
Menjaga pendidikan anak Aceh pasca banjir bukan sekadar soal kurikulum dan gedung sekolah. Ia adalah soal keadilan antargenerasi. Soal memastikan bahwa penderitaan hari ini tidak diwariskan sebagai keterbelakangan di masa depan.
Di tangan anak-anak pengungsi inilah Aceh kelak berdiri.
Dan pada keberpihakan kita hari inilah, masa depan itu ditentukan.