Bagi petani, sawah bukan sekadar lahan. Ia adalah napas hidup, sekolah anak-anaknya, dapur keluarganya, dan masa depan desanya. Maka ketika banjir datang dan meninggalkan lumpur setebal lutut hingga dada, yang tertimbun bukan hanya tanah pertanian—tetapi seluruh aktivitas hidup masyarakat tani.
Pasca banjir, desa-desa pertanian berubah sunyi. Tidak ada suara cangkul, tidak ada langkah ke sawah di pagi hari, tidak ada hitungan musim tanam. Yang tersisa hanya lumpur, genangan, dan kebingungan. Petani kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, dan lebih dari itu—kehilangan kepastian.
Banjir Bukan Sekadar Musibah Alam
Selalu mudah mengatakan banjir adalah bencana alam. Namun bagi petani, banjir yang datang berulang adalah akumulasi kelalaian kebijakan. Alih fungsi lahan, sungai yang dangkal, saluran irigasi yang rusak, dan minimnya tata kelola lingkungan menjadikan sawah sebagai korban paling pertama.
Setiap kali hujan deras turun, petani hidup dalam kecemasan. Bukan karena takut basah, tetapi karena tahu: sekali sawah tertimbun lumpur, hidup mereka ikut terhenti.
Pasca banjir, sawah tidak bisa langsung ditanami. Lumpur harus dibersihkan, struktur tanah dipulihkan, irigasi diperbaiki. Semua itu butuh waktu, tenaga, dan biaya—sesuatu yang tidak dimiliki petani setelah kehilangan hasil panen.
Ketika Aktivitas Hilang, Kemiskinan Mengintai
Berbeda dengan pekerja sektor formal, petani tidak punya gaji bulanan. Aktivitas bertani adalah satu-satunya sumber hidup. Ketika sawah rusak, petani otomatis menganggur. Tidak ada penghasilan, tidak ada jaminan sosial, dan sering kali tidak ada bantuan yang tepat sasaran.
Hari-hari di pengungsian atau di rumah pasca banjir menjadi hari-hari tanpa kerja. Petani hanya bisa menunggu—menunggu bantuan, menunggu alat berat, menunggu keputusan pemerintah. Sementara kebutuhan hidup terus berjalan: makan, pendidikan anak, kesehatan, dan cicilan utang pupuk.
Di sinilah kemiskinan struktural mulai menguat. Banjir tidak hanya merusak lahan, tetapi memutus mata rantai ekonomi desa.
Bantuan Datang, Tapi Tidak Menyentuh Akar Masalah
Bantuan pasca banjir sering kali bersifat konsumtif: beras, mie instan, selimut, dan tenda. Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Petani tidak butuh bantuan untuk bertahan seminggu—mereka butuh solusi untuk kembali bekerja.
Yang jarang datang adalah:
bantuan alat pembersih sawah,
normalisasi irigasi,
bantuan benih ulang,
subsidi pupuk pasca banjir,
dan skema padat karya berbasis pertanian.
Akibatnya, setelah bantuan logistik habis, petani kembali ke titik nol—bahkan minus. Sawah masih rusak, aktivitas belum pulih, dan utang semakin menumpuk.
Sawah yang Rusak, Desa yang Lumpuh
Sawah adalah pusat kehidupan desa. Ketika sawah mati, warung sepi, buruh tani menganggur, pasar desa melemah, dan perputaran ekonomi berhenti. Dampaknya tidak hanya dirasakan petani pemilik lahan, tetapi seluruh masyarakat desa.
Anak-anak petani terancam putus sekolah. Ibu-ibu kehilangan sumber penghasilan tambahan. Pemuda desa terpaksa merantau atau menganggur. Banjir akhirnya menciptakan krisis sosial yang jauh lebih panjang daripada genangan air itu sendiri.
Negara Hadir di Statistik, Absen di Sawah
Di laporan resmi, pemerintah sering menyebut luas lahan terdampak dan jumlah petani terdampak. Namun di lapangan, petani jarang melihat kehadiran nyata negara di sawah mereka.
Petani tidak butuh data. Mereka butuh aksi
.
Mereka tidak menunggu konferensi pers. Mereka menunggu alat berat.
Mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka menuntut keadilan kebijakan.
Ketika sawah tertimbun berbulan-bulan tanpa pemulihan, itu bukan lagi musibah—itu adalah pembiaran.
Petani Selalu Disuruh Sabar
Setiap bencana, petani selalu diminta bersabar. Sabar menghadapi banjir. Sabar menunggu bantuan. Sabar menerima kenyataan. Namun jarang sekali negara bersabar mendengar jeritan petani.
Kesabaran petani sering disalahartikan sebagai kelemahan. Padahal di balik kesabaran itu ada amarah yang dipendam, kelelahan yang panjang, dan keputusasaan yang sunyi.
Jika petani kehilangan kesabaran, jangan salahkan mereka. Sebab terlalu lama hidup tanpa kepastian adalah bentuk kekerasan yang tidak kasat mata.
Banjir dan Masa Depan Ketahanan Pangan
Jika sawah rusak dan petani berhenti berproduksi, maka yang terancam bukan hanya petani—tetapi ketahanan pangan daerah dan nasional. Harga beras naik, pasokan menurun, dan ketergantungan pada daerah lain meningkat.
Ironisnya, petani yang selama ini menjaga pangan justru menjadi kelompok paling rentan saat bencana datang. Mereka menjaga negeri, tetapi negeri belum tentu menjaga mereka.
Yang Dibutuhkan Petani Hari Ini
Pasca banjir, petani membutuhkan kebijakan konkret:
Normalisasi sawah dan irigasi secara cepat dan menyeluruh
Bantuan benih dan pupuk khusus pasca banjir
Program padat karya pembersihan sawah berbasis desa
Asuransi pertanian yang benar-benar bekerja, bukan sekadar wacana
Pendampingan teknis agar sawah bisa segera ditanami kembali
Tanpa itu semua, petani akan terus terjebak dalam siklus bencana dan kemiskinan.
Jangan Biarkan Petani Bertahan Sendirian
Sawah yang tertimbun lumpur masih bisa diselamatkan. Tetapi jika petani dibiarkan terlalu lama tanpa aktivitas, yang akan hilang adalah harapan.
Petani tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin kembali ke sawah, kembali bekerja, dan kembali hidup dengan martabat. Pasca banjir, yang paling dibutuhkan bukan janji, melainkan kehadiran nyata negara di tanah pertanian.
Jika petani berhenti menanam karena dibiarkan terluka, maka suatu hari kita semua akan merasakan akibatnya—di meja makan kita sendiri.
Dan saat itu terjadi, barulah kita sadar:
sawah yang tertimbun lumpur hari ini adalah peringatan bagi masa depan pangan kita semua.