Rabu 14 Mei 2025

Notification

×
Rabu, 14 Mei 2025

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi: Ke Mana Arah Generasi Muda, Bila Sejarah Aceh Sudah Pudar

Sabtu, 19 April 2025 | 09:53 WIB Last Updated 2025-04-19T02:53:08Z

Refleksi: Ke Mana Arah Generasi Muda, Bila Sejarah Aceh Sudah Pudar?

Oleh:  Azhari 

Di tanah yang dahulu berdiri megah sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara, hari ini kita menyaksikan generasi muda Aceh yang kian jauh dari sejarahnya sendiri. Anak-anak muda yang lebih mengenal idola Korea dan selebgram Jakarta ketimbang ulama dan pejuang Aceh. Mereka lebih akrab dengan tren TikTok daripada dengan hikayat Sultan Iskandar Muda. Pertanyaannya: bila sejarah telah pudar, ke mana arah generasi muda Aceh akan melangkah?

Ketika Akar Tak Lagi Dipijak

Aceh bukan sekadar provinsi di ujung barat Indonesia. Ia adalah bangsa yang pernah merdeka, berdiri tegak dengan syiar Islam dan semangat kemanusiaan. Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16 hingga ke-19 dikenal luas di dunia Islam. Para sultan Aceh berdiplomasi dengan Khalifah Turki Utsmani, Inggris, hingga Belanda. Ulama-ulamanya menjadi rujukan di Hijaz. Para syuhada-nya mencatatkan namanya dalam sejarah panjang penolakan terhadap kolonialisme.

Namun kini, sejarah itu seperti barang antik yang tersimpan di rak museum yang berdebu. Tak dilihat, tak disentuh, tak dimaknai. Generasi muda mulai kehilangan akar, dan kehilangan akar adalah langkah pertama menuju kehilangan arah.

Mengapa Sejarah Aceh Mulai Terlupakan?

  1. Pendidikan yang Tidak Membumi:

    Sejarah Aceh masih diajarkan dalam format hafalan di sekolah. Ia tak pernah dihidupkan lewat pengalaman, diskusi kritis, atau kreativitas. Anak muda tidak diajak berdialog dengan masa lalu, mereka hanya disuruh menghafal nama dan tanggal.

  2. Minimnya Media Sejarah yang Populer:
    Di era visual dan digital ini, narasi sejarah Aceh masih terjebak dalam buku usang. Tak banyak film, dokumenter, podcast, atau media sosial yang mengangkat warisan sejarah Aceh secara menarik dan interaktif.

  3. Ketidakhadiran Negara dan Daerah dalam Menjaga Warisan:
    Banyak situs sejarah terbengkalai, arsip tak terurus, bahkan benda-benda pusaka Aceh tersebar di museum asing. Pemerintah seolah lebih fokus membangun infrastruktur fisik daripada memelihara infrastruktur kultural.

  4. Perubahan Gaya Hidup dan Nilai:

    Gempuran budaya pop global membentuk gaya hidup baru yang tak menyisakan ruang bagi sejarah. Konsumerisme menggantikan keingintahuan. Yang keren adalah yang viral, bukan yang berakar.

Dampaknya: Generasi Tanpa Arah

Bila sejarah pudar, maka identitas pun kabur. Generasi muda akan tumbuh tanpa kebanggaan, tanpa nilai perjuangan, tanpa semangat kolektif. Mereka mudah dimanipulasi, tercerai-berai, dan kehilangan idealisme. Aceh akan kehilangan generasi pelanjut yang punya semangat perlawanan, keberanian, dan kecintaan pada negeri.

Ketika anak muda Aceh tak mengenal siapa Teuku Umar, bagaimana mungkin mereka memahami arti berkorban? Jika mereka tidak tahu perjuangan Cut Nyak Dhien, bagaimana mungkin mereka menghormati perempuan dan peranannya? Jika nama-nama ulama besar Aceh seperti Syiah Kuala, Abdurrauf Singkel, atau Hamzah Fansuri asing di telinga mereka, bagaimana mungkin Aceh bisa tetap dikenal sebagai Serambi Mekkah?

Haruskah Kita Menyerah? Tidak.

Masih ada harapan. Justru di tengah keterasingan ini, muncul peluang untuk membangkitkan kembali kesadaran sejarah dengan pendekatan baru.

  1. Reformasi Kurikulum Sejarah Lokal:
    Sejarah Aceh harus menjadi pelajaran wajib yang kontekstual dan menyentuh. Libatkan anak muda dalam membuat ulang sejarah melalui film, seni, dan narasi digital.

  2. Gerakan Literasi Sejarah Aceh:
    Komunitas, dayah, kampus, dan media lokal bisa menciptakan ekosistem sejarah yang hidup. Mulai dari bedah buku, festival sejarah, hingga podcast sejarah berbahasa lokal.

  3. Digitalisasi dan Populisasi Sejarah:
    Gunakan media sosial untuk menyebarkan fakta sejarah, kisah heroik, dan nilai-nilai kearifan lokal. Sejarah tidak harus diajarkan secara akademis, tapi bisa melalui storytelling visual dan narasi sinematik.

  4. Revitalisasi Situs dan Simbol Sejarah:

Situs sejarah harus menjadi tempat belajar yang menarik, bukan sekadar obyek wisata. Nama-nama jalan, gedung, bahkan stadion sebaiknya kembali diambil dari tokoh-tokoh Aceh sebagai pengingat sejarah yang hidup.

Penutup: Waktu Tak Bisa Menunggu

Kita sedang berpacu dengan waktu. Bila dalam 10 tahun ke depan sejarah Aceh benar-benar hilang dari kesadaran kolektif, maka kita telah kehilangan lebih dari sekadar masa lalu. Kita kehilangan masa depan.

Mari bertanya kepada diri kita masing-masing: jika Sultan Iskandar Muda melihat kita hari ini, apa yang akan ia katakan? Bila Cut Meutia duduk di sebelah anak muda Aceh yang tak tahu sejarahnya, apa yang ia rasakan? Bila ulama besar seperti Tengku Chik di Tiro menyaksikan generasi muda yang tak bisa membedakan antara perjuangan dan hiburan semata, akankah mereka masih percaya Aceh bisa bangkit?

Sejarah bukan untuk ditangisi, tapi untuk dinyalakan kembali. Dan generasi muda adalah obornya. Bila sejarah sudah pudar, maka kitalah yang harus meniup debunya dan menyalakan kembali apinya.

Aceh butuh generasi yang bukan hanya mengenal dunia, tapi juga mengenal dirinya sendiri.
Dan itu hanya bisa terjadi jika sejarah kembali menjadi napas kehidupan.