Oleh: Azhari
Di sepanjang sejarah peradaban manusia, dua kata ini selalu menjadi topik yang tak pernah usang: kehidupan dan kematian. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Di balik kehidupan, ada kematian yang menanti. Di balik kematian, ada kisah kehidupan yang pernah terjadi. Kita lahir, kita hidup, dan kita mati. Lalu yang tersisa hanyalah kenangan dan jejak-jejak kecil di dunia yang fana ini.
Kehidupan: Anugerah yang Sering Terabaikan
Banyak orang hidup, tapi lupa bagaimana caranya menikmati hidup. Kita sibuk mengejar harta, jabatan, cinta, hingga ketenaran, namun lupa mensyukuri udara yang gratis kita hirup setiap pagi. Kita sering menunda-nunda bahagia, berharap esok akan lebih baik, tanpa sadar bahwa hari ini pun sebenarnya penuh makna.
Kehidupan bukan hanya tentang angka-angka di rekening atau deretan pengikut di media sosial. Kehidupan adalah tentang momen-momen sederhana: secangkir kopi hangat di pagi hari, suara ibu yang menanyakan kabar, tawa anak-anak di halaman, hingga pelukan orang tercinta sebelum tidur.
Namun, ironi terbesar manusia modern adalah sering kali kita baru menyadari betapa berharganya hidup ketika waktu kita di dunia mulai menipis. Ketika sakit datang, ketika usia mulai menua, atau ketika kehilangan seseorang yang kita cintai, barulah kita menyadari bahwa hidup terlalu singkat untuk disia-siakan.
Kematian: Pasti, tapi Sering Dilupakan
Kematian adalah misteri abadi yang tak seorang pun bisa hindari. Ia tidak mengenal usia, jabatan, atau status sosial. Seorang raja, pengemis, ulama, hingga pendosa akan berakhir di tempat yang sama: liang kubur.
Ironisnya, meski kematian begitu pasti, manusia justru kerap hidup seakan-akan tidak akan mati. Kita menumpuk harta, mengkhianati kawan, merusak alam, bahkan saling menyakiti, seakan-akan kita akan hidup seribu tahun lagi.
Padahal, kematian adalah guru terbaik tentang nilai kehidupan. Ia mengajarkan kita bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, dan yang paling berharga adalah amal dan kebaikan yang kita tinggalkan.
Antara Hidup dan Mati: Apa yang Kita Tinggalkan?
Pertanyaan terpenting seharusnya bukan seberapa lama kita hidup, tapi untuk apa kita hidup? Apa jejak yang kita tinggalkan? Apakah hidup kita memberi manfaat bagi orang lain? Ataukah justru menyisakan luka dan duka di hati banyak orang?
Dalam sejarah, ada manusia-manusia yang hidupnya abadi dalam kenangan karena kebaikan dan jasa yang mereka tinggalkan. Ada pula yang dikenang karena kezaliman dan kerusakan yang mereka wariskan.
Sejatinya, manusia hidup hanya untuk dua kemungkinan: dikenang karena kebaikannya, atau dilupakan karena kesia-siaannya.
Penutup: Mari Merenung
Hari ini, di tengah hiruk-pikuk kehidupan, coba luangkan waktu sejenak untuk merenung. Apa arti hidup kita? Siapa yang telah kita bahagiakan? Siapa yang pernah kita sakiti? Dan jika malam ini adalah malam terakhir kita di dunia, adakah amal baik yang bisa kita bawa?
Kehidupan dan kematian adalah dua saudara yang selalu berjalan berdampingan. Kita lahir untuk hidup, dan hidup untuk mati. Yang abadi bukanlah tubuh, melainkan amal dan kenangan.
Mari hidup dengan lebih bermakna, sebelum waktu habis dan nama kita tinggal terukir di batu nisan.