Oleh: Azhari
Aceh adalah tanah yang dibangun di atas darah, air mata, dan doa-doa panjang. Negeri yang pernah berdiri megah sebagai Serambi Mekkah, tempat ulama dihormati, adat dijunjung, dan rakyat dijaga. Tapi hari ini, Aceh sedang berada di persimpangan. Di tengah gegap gempita otonomi khusus, di tengah limpahan dana otsus yang tak kunjung menyejahterakan, rakyat Aceh terus menunggu: kapan para politisi yang mereka pilih benar-benar beraksi untuk mereka?
Penantian Rakyat Aceh di Tengah Panggung Politik
Setiap lima tahun, rakyat Aceh kembali diajak menonton pesta demokrasi. Baliho-baliho politisi bertebaran dari kota hingga pelosok gampong. Janji-janji manis diumbar: memberdayakan nelayan, memperbaiki irigasi sawah, memperjuangkan harga hasil pertanian, membuka lapangan kerja untuk pemuda, hingga memperkuat pendidikan dayah.
Namun, setelah semua suara dihitung, jabatan diduduki, dan seremonial pelantikan usai, suara rakyat seakan lenyap ditelan rapat-rapat formal. Politisi yang dulunya begitu rajin mengunjungi pasar, menyalami petani, dan berpose bersama anak yatim, kini sulit ditemui. Rakyat Aceh menanti: kapan janji-janji itu menjadi nyata? Kapan perdebatan di ruang parlemen benar-benar berbicara tentang nasib rakyat, bukan bagi-bagi proyek dan kekuasaan?
Antara Otsus, Elite Politik, dan Rakyat yang Tertinggal
Aceh punya keistimewaan. Dana otonomi khusus yang sejak 2008 mengalir hingga ratusan triliun, semestinya mampu mengangkat ekonomi rakyat. Tapi faktanya, angka kemiskinan masih tinggi, pengangguran merajalela, bahkan Aceh kerap masuk daftar provinsi termiskin di Sumatera.
Ke mana dana itu mengalir? Siapa yang menikmatinya? Rakyat Aceh berhak bertanya. Karena di banyak tempat, jalan-jalan rusak masih menganga, fasilitas kesehatan seadanya, sekolah-sekolah di pedalaman terbengkalai. Sementara di sisi lain, gedung mewah pemerintahan dibangun, kendaraan dinas berganti saban tahun, dan proyek-proyek mercusuar dipajang di baliho tanpa menyentuh akar masalah rakyat.
Di sinilah politisi Aceh diuji: apakah mereka menjadi pelayan rakyat atau sekadar boneka elite yang asyik bermanuver demi jabatan?
Ketika Politisi Aceh Harus Turun ke Gampong
Aceh bukan hanya Banda Aceh, bukan hanya kursi-kursi dewan di gedung DPRA, bukan hanya hotel-hotel tempat rapat elite partai. Aceh adalah gampong-gampong di pedalaman Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Singkil, Pidie Jaya, dan pulau-pulau terluar di Simeulue. Di sana, rakyat masih menunggu suara dan keberpihakan.
Politisi Aceh harus berani turun tanpa kamera, tanpa protokoler mewah, tanpa takut kotor sepatu, menyusuri jalan-jalan desa yang becek, mendengarkan keluh kesah nelayan tentang hasil tangkapan yang makin sedikit, petani yang kesulitan pupuk, guru honor yang bertahun-tahun tak diangkat, dan anak muda yang kehilangan harapan.
Inilah saatnya politisi Aceh membuktikan keberpihakan. Bukan hanya bersuara saat MoU Helsinki diperingati, bukan hanya berpidato saat Maulid Nabi atau memperingati gempa tsunami. Tapi hadir di setiap denyut nadi rakyat, di saat krisis, di saat kesusahan, di saat nasib rakyat dipermainkan.
Politisi Rakyat atau Politisi Warisan Kekuasaan?
Aceh saat ini diwarnai fenomena politisi warisan, di mana kursi jabatan diwariskan, bukan melalui rekam jejak, melainkan karena kedekatan, keluarga, atau patron politik. Maka, jangan heran bila suara rakyat diabaikan. Padahal, Aceh pernah punya politisi ulama, pejuang, dan cendekiawan yang menyuarakan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Pertanyaannya: apakah politisi Aceh hari ini berani melawan arus? Berani menolak kebijakan yang merugikan rakyat meski berisiko kehilangan jabatan? Berani memperjuangkan qanun-qanun pro-rakyat meski berhadapan dengan elite nasional? Jika tidak, maka mereka hanyalah aktor dalam panggung sandiwara kekuasaan.
Akhir Kata
Penantian rakyat Aceh tak boleh selamanya menjadi kisah pilu. Politik harus kembali menjadi alat perjuangan, bukan sekadar permainan elite. Politisi Aceh harus kembali memihak rakyat, membela petani, nelayan, guru, buruh, dan pemuda. Bukan hanya hadir saat kampanye, tetapi juga saat rakyat menangis, saat rakyat protes, saat rakyat kehilangan harapan.
Aceh butuh politisi berani. Politisi yang bukan sibuk mencari proyek, bukan sibuk mengatur keluarga di pemerintahan, tapi politisi yang jujur, berpihak, dan bersedia turun ke gampong. Karena di tanah ini, rakyat sudah terlalu lama menunggu.
Kini, saatnya penantian itu dijawab. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan keberanian dan aksi nyata.