:
Oleh: Azhari
Di balik keberhasilan setiap generasi, selalu ada sosok guru yang menjadi pondasi. Di ruang-ruang kelas sederhana, di sudut dayah-dayah terpencil, di sekolah pinggiran kampung hingga madrasah di desa-desa, para guru berdiri tegak, menyampaikan ilmu, membentuk karakter, dan membangun peradaban. Namun, ironisnya — di negeri ini, profesi guru masih sering dianggap sepele. Mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa, tapi nyaris tanpa penghargaan yang layak.
Guru, Pekerjaan Mulia yang Diabaikan
Sudah sejak lama para guru di Indonesia, khususnya di Aceh, menghadapi persoalan pelik. Honor yang tak sebanding dengan tugas berat, fasilitas mengajar yang minim, hingga beban administrasi yang kian menumpuk. Sebagian besar guru honorer di pelosok Aceh menerima upah yang bahkan belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Sebagian guru dayah dan ngaji di meunasah juga hanya mengandalkan infak seikhlas hati jamaah — itupun kadang tak cukup untuk membeli buku atau membiayai keluarga.
Ada guru yang harus menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor tua, mengajar di kelas reyot dengan papan tulis kusam. Ada guru ngaji yang tetap setia mengajarkan Al-Quran meski tanpa bayaran, demi menjaga cahaya agama di desa-desa. Semua itu dilakukan bukan karena mengejar materi, tapi karena panggilan hati dan tanggung jawab moral.
Tantangan Pemerintah: Komitmen yang Masih Sebatas Wacana
Pemerintah seringkali menggaungkan komitmen untuk memperbaiki nasib guru, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sayangnya, sebagian besar kebijakan masih bersifat sporadis, lebih banyak seremonial ketimbang substansial. Program sertifikasi, pengangkatan P3K, dan beasiswa untuk guru memang sudah ada, tetapi belum merata menjangkau guru-guru honorer dan guru dayah di pedalaman Aceh.
Tak sedikit guru yang sudah mengabdi puluhan tahun, namun belum diangkat menjadi pegawai tetap. Bahkan, sebagian guru honorer terpaksa mencari pekerjaan sampingan sekadar untuk menyambung hidup. Ironisnya, dalam banyak pidato resmi, para pejabat tak pernah lupa menyebut guru sebagai pahlawan. Tapi ketika urusan anggaran, profesi ini seringkali bukan prioritas.
Guru Ngaji dan Dayah: Pilar Moral yang Terabaikan
Di Aceh, guru ngaji dan guru dayah memiliki posisi yang sangat penting dalam membangun akhlak dan spiritualitas masyarakat. Mereka bukan hanya pengajar Al-Quran, tapi juga penjaga nilai-nilai adat dan agama. Sayangnya, peran mereka sering diabaikan dalam perencanaan anggaran pemerintah.
Banyak dayah masih berjalan mandiri, mengandalkan donasi masyarakat, dan para guru ngaji tetap bertahan dengan penghasilan seikhlasnya. Padahal, mereka inilah benteng terakhir yang menjaga Aceh tetap Islami di tengah gempuran budaya digital yang merusak nilai.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus serius menata kebijakan pendidikan dan kesejahteraan guru secara merata. Tak boleh ada lagi ketimpangan antara guru negeri di kota dan guru honorer di desa. Dana otonomi khusus Aceh seharusnya bisa dialokasikan lebih adil untuk kesejahteraan tenaga pendidik.
Kedua, program penghargaan terhadap guru ngaji dan guru dayah harus diwujudkan dalam bentuk insentif bulanan, pelatihan, dan jaminan kesehatan. Jangan sampai profesi mulia ini punah karena anak muda enggan melanjutkannya akibat nasib yang tidak jelas.
Ketiga, masyarakat Aceh sendiri harus kembali menempatkan guru di posisi terhormat. Hormati, bantu, dan dukung para guru di lingkungan masing-masing. Jangan biarkan guru hanya menjadi pahlawan dalam kata-kata, tapi miskin dalam kenyataan.
Guru adalah Masa Depan Aceh
Aceh tidak akan maju tanpa pendidikan. Pendidikan tidak akan hidup tanpa guru. Dan guru tidak akan bertahan tanpa penghargaan yang layak. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bergerak bersama, bukan sekadar memberi ucapan terima kasih saat Hari Guru, tapi benar-benar membangun sistem yang memuliakan profesi ini.
Jangan biarkan pahlawan tanpa tanda jasa itu terus terluka, demi masa depan Aceh yang lebih cerdas, beradab, dan bermartabat.