Oleh: [Nama Anda]
Setiap kali musim pemilu tiba, jalan-jalan kampung dipenuhi spanduk, baliho, dan poster wajah-wajah penuh senyum para calon. Di belakang mereka, ada sekelompok orang yang bekerja tanpa lelah: tim sukses (timses). Mereka rela berpanas-panasan, berdebat di warung kopi, mengantar sembako, hingga mengetuk pintu-pintu rumah demi satu harapan — kemenangan.
Namun, yang sering terlupa adalah kisah setelah kemenangan. Ketika suara sudah dihitung, kursi sudah diduduki, dan janji sudah diumbar ke khalayak, tim sukses seringkali hanya mendapat tatapan kosong dan senyum basa-basi. Padahal, merekalah yang selama berbulan-bulan berjibaku di medan politik tanpa imbalan pasti.
Tatapan Timses Pasca Pilkada dan Pileg
Pasca pemilihan, banyak wajah-wajah lelah yang seakan bertanya dalam hati: “Masihkah kami berarti?” Tatapan itu bukan sekadar soal uang atau jabatan, tapi tentang pengakuan. Tentang dihargai sebagai bagian dari proses demokrasi, bukan sekadar alat pemulus kemenangan.
Seringkali, setelah para bupati dan caleg terpilih duduk nyaman di kursinya, komunikasi dengan timses perlahan renggang. Warung-warung kopi yang dulu riuh strategi mendadak sepi. Ponsel yang dulunya aktif diangkat, kini sulit dihubungi. Dan lebih menyakitkan lagi, banyak tim sukses yang akhirnya hanya jadi penonton, sementara posisi-posisi strategis diisi oleh orang luar yang tak ikut berkeringat di medan politik.
Harapan yang Masih Menggantung
Meski begitu, harapan tetap ada. Timses berharap pemimpin yang mereka menangkan tidak lupa diri. Harapan bahwa pemimpin itu bisa adil, bijak, dan tidak menyingkirkan orang-orang yang telah berjuang bersamanya. Karena di balik setiap suara yang dikumpulkan, ada kerja keras, pengorbanan waktu, tenaga, bahkan reputasi sosial.
Lebih dari sekadar posisi atau proyek, yang diharapkan tim sukses adalah keberpihakan pada rakyat. Mereka ingin pemimpin yang tak hanya peduli pada elite, tetapi juga pada rakyat kecil yang selama ini menjadi mesin suara. Timses ingin pemimpin yang tetap membuka ruang silaturahmi, tempat berbagi aspirasi, dan tidak takut dikritik.
Refleksi Demokrasi Kita: Antara Politik Transaksional dan Politik Moral
Fenomena timses yang dilupakan bukan hal baru dalam demokrasi kita. Ia terjadi karena demokrasi masih dipahami sekadar kompetisi lima tahunan, bukan sebagai alat membangun peradaban. Politik kita masih berkutat dalam jebakan transaksional, di mana suara dibeli, jabatan dijanjikan, dan loyalitas dihargai sebatas materi.
Seharusnya, demokrasi menjadi jalan moral. Pemimpin harus lahir dari proses yang bersih, didukung oleh orang-orang yang tulus ingin perubahan, bukan sekadar pemburu proyek. Dan pemimpin pun, setelah terpilih, sepatutnya menjadikan tim sukses bukan alat, tapi mitra dalam membangun daerah.
Pesan untuk Para Bupati dan Caleg Terpilih
Kepada para bupati dan caleg yang baru terpilih, ingatlah bahwa kemenangan yang kalian raih bukanlah semata hasil popularitas atau program bagus, tapi karena ada tangan-tangan rakyat yang bergerak. Ada tim kecil yang bekerja diam-diam, memoles citra, merayu warga, hingga mengawal suara.
Janganlah tim sukses hanya dikenang saat kampanye, lalu dibuang saat pesta usai. Berdayakan mereka sesuai kemampuan. Libatkan mereka dalam diskusi-diskusi pembangunan. Dengarkan masukan mereka, karena mereka tahu denyut nadi masyarakat paling bawah.
Dan lebih penting, jadilah pemimpin yang amanah. Karena jabatan itu hanya sementara. Saat masa berakhir, rakyat akan kembali menilai, dan para tim sukses yang dulu terlupakan bisa menjadi suara keras di seberang jalan.
Penutup: Demokrasi Harus Dewasa
Kita butuh demokrasi yang lebih matang. Dimulai dari cara para pemimpin memperlakukan tim suksesnya. Jangan jadikan politik sekadar proyek lima tahunan. Karena di balik setiap lembar suara, ada harapan. Di balik setiap baliho yang dipasang, ada pengorbanan. Dan di balik setiap kemenangan, ada tanggung jawab moral yang tak bisa dibeli.
Maka, semoga tatapan tim sukses itu tak lagi kosong. Dan semoga harapan yang mereka titipkan tak lagi menjadi angin lalu. Karena yang dibutuhkan Aceh, Indonesia, dan setiap daerah bukan sekadar pemimpin terpilih, tapi pemimpin yang peduli, rendah hati, dan tahu cara membalas jasa.
[Nama Anda], pemerhati politik lokal dan aktivis sosial