Ayah Dibunuh dalam Konflik Aceh, Kami Hidup Sebatang Kara — Tapi Kami Masih Bertahan
Oleh: Azhari
Ayah kami tidak meninggal karena sakit. Ayah kami dibunuh dalam gelapnya konflik Aceh. Ditembak, disiksa, atau sekadar hilang entah ke mana. Tidak ada upacara pemakaman, tidak ada batu nisan. Hanya kabar duka yang menggantung di udara, dan hidup kami yang sejak itu berubah selamanya.
Kami adalah anak-anak dari mereka yang dibungkam oleh peluru. Dan kami tumbuh dalam sunyi, dalam sepi, dalam kehilangan yang tidak pernah benar-benar mendapat perhatian.
Kami hidup sebatang kara. Tapi kami tidak menyerah.
Ketika Dunia Tak Lagi Peduli
Siapa yang peduli pada anak-anak yatim konflik?
Siapa yang datang ketika ibu kami menangis di malam hari, memeluk kami dengan tubuh gemetar karena trauma?
Siapa yang mengajarkan kami cara bangkit, ketika dunia hanya mengajari kami cara menyalahkan?
Negara sibuk bicara perdamaian. Para elite sibuk membagi kursi. Tapi rumah kami masih reyot, dapur kami masih kosong, dan sekolah hanya menjadi mimpi yang tak sempat kami kejar.
Kami hidup sebatang kara, bukan hanya karena ayah tak ada. Tapi karena negara pun tak pernah sungguh hadir untuk kami.
Tidak Ada Kompensasi untuk Rasa Sepi
Tak ada uang yang bisa mengganti sosok ayah. Tak ada beasiswa yang bisa menyembuhkan luka psikologis anak yang menyaksikan kematian keluarganya sendiri.
Tapi paling tidak, kami berharap ada keberanian dari negara untuk mengakui bahwa kami ada.
Bahwa kami pernah menjadi korban.
Bahwa kami bukan hanya angka dalam laporan, bukan hanya nama dalam proposal bantuan yang tak pernah sampai.
Kami Belajar Bertahan, Tapi Kami Tak Ingin Terus Ditinggalkan
Kami belajar bekerja lebih awal.
Kami menjadi dewasa sebelum waktunya.
Kami menahan air mata agar ibu tetap kuat.
Kami memilih diam saat teman-teman membanggakan ayah mereka, karena kami hanya punya satu jawaban: Ayahku dibunuh.
Tapi dari semua itu, kami tidak ingin terus menjadi generasi yang ditinggalkan. Kami ingin bangkit. Kami ingin belajar. Kami ingin membuktikan bahwa kami bukan hasil dari kehancuran, tapi benih dari harapan yang tak pernah mati.
Seruan untuk Keadilan
Kepada negara, kepada pemerintah Aceh, kepada semua pihak yang dulu menjadi bagian dari konflik:
Kami tidak ingin permintaan maaf.
Kami ingin keadilan.
Kami ingin ada program nyata, bukan hanya janji.
Kami ingin agar anak-anak seperti kami tidak dilupakan.
Karena setiap darah yang tumpah di tanah Aceh bukan hanya menyisakan trauma, tapi juga meninggalkan anak-anak yang kini tumbuh tanpa arah — kecuali jika kalian berani membuka mata dan hati.
Penutup: Kami Masih Ada
Kami mungkin bukan anak-anak kecil lagi. Tapi luka itu tumbuh bersama kami.
Kami adalah bukti hidup dari masa lalu yang belum disembuhkan.
Kami bukan generasi pengemis belas kasih, tapi generasi yang menunggu kesempatan untuk membuktikan bahwa kami bisa — jika diberi ruang.
“Ayah kami dibunuh, tapi jangan biarkan kami juga mati dalam pengabaian.”
Kami hidup sebatang kara, tapi kami masih berdiri. Dan suara kami, mulai hari ini, tak akan lagi kalian abaikan.
Perlu versi panjang untuk media atau buku memoar korban konflik? Saya siap bantu.