Konflik Aceh dan Kematian Tanpa Jejak yang Terlupakan
Oleh: Azhari
Aceh adalah tanah luka. Di balik rindangnya pohon-pohon dan damainya desa-desa hari ini, tersimpan cerita kelam yang belum selesai ditulis, apalagi disembuhkan. Konflik panjang yang pernah membakar wilayah ini—terutama sejak era 1976 hingga ditandatanganinya MoU Helsinki pada 2005—tidak hanya menyisakan reruntuhan fisik, tetapi juga meninggalkan jejak kematian yang tak pernah dicatat dengan jujur dalam sejarah bangsa: kematian tanpa jejak.
Ketika Nyawa Menjadi Angka yang Terlupakan
Selama puluhan tahun, ribuan orang di Aceh kehilangan nyawa mereka. Ada yang mati di hutan, di sawah, di penjara, di kampungnya sendiri. Banyak yang hilang tanpa kabar, tanpa kubur, tanpa nisan, bahkan tanpa berita. Mereka tidak tercatat sebagai pahlawan, juga tidak disebut sebagai korban. Mereka hanya hilang, seolah tidak pernah ada.
Anak-anak tumbuh tanpa ayah, istri menjadi janda tanpa tahu jenazah suaminya di mana, dan orang tua pergi ke kuburan setiap Jumat tanpa tahu di mana harus menabur doa. Kematian semacam ini bukan hanya tragis, tapi menghancurkan martabat kemanusiaan.
Sejarah yang Dipotong Separuh
Konflik Aceh kerap disebut dalam angka-angka: 15.000 jiwa melayang, ratusan desa dibakar, ribuan pengungsi mengungsi dari rumah sendiri. Tapi apakah kita pernah sungguh-sungguh menuliskan siapa mereka? Apa latar belakangnya? Apa yang mereka perjuangkan? Atau bahkan, apakah kita pernah peduli?
Sejarah Aceh hari ini seakan hanya mengenal dua hal: narasi nasionalisme dan narasi perdamaian. Tapi narasi luka—tentang mereka yang mati tanpa jejak—dibiarkan mengambang. Sejarah dipotong separuh: disebut konflik, tapi tidak diselami derita masyarakat.
Bukan Sekadar Statistik
Kematian tanpa jejak bukan sekadar cerita sedih, tapi merupakan kegagalan negara dan masyarakat dalam memberikan keadilan. Mereka yang mati bukan hantu. Mereka adalah guru, petani, pelajar, ustaz, dan aktivis. Mereka adalah warga Aceh yang punya impian—yang dihancurkan oleh kekerasan sistemik.
Sayangnya, hingga hari ini belum ada upaya serius untuk mengusut penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pelanggaran HAM lain di masa konflik. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang sempat dibentuk, terbentur kepentingan politik dan kemandekan kebijakan. Luka sejarah itu masih terbuka.
Damai Tanpa Keadilan Adalah Damai yang Rapuh
MoU Helsinki adalah titik hening setelah badai panjang. Tapi damai yang tidak disertai keadilan akan tumbuh rapuh. Ia akan menjadi damai yang hanya dinikmati oleh elit politik, sementara masyarakat masih bergelut dengan trauma yang diwariskan secara turun-temurun.
Anak-anak dari para korban hari ini tumbuh dalam tanya: kenapa ayahku tidak pulang? Kenapa kuburnya tak pernah kami temukan? Dan siapa yang harus kami minta pertanggungjawaban?
Seruan untuk Aceh Hari Ini
Aceh tidak bisa maju jika sejarahnya dipalsukan. Kita harus berani membuka lembaran yang disembunyikan. Menyusun daftar nama korban. Mengungkap fakta kekerasan. Membuka ruang kebenaran. Bukan untuk membuka luka, tapi untuk menjahitnya dengan kejujuran.
Aceh butuh monumen, museum, arsip, dan pengakuan resmi atas kejahatan masa lalu.
Bukan untuk dendam. Tapi untuk memastikan bahwa generasi hari ini tidak tumbuh dalam kebohongan dan pembiaran.
Penutup: Kita Tak Boleh Lupa
Kematian tanpa jejak adalah tragedi kemanusiaan. Mereka mungkin sudah tiada, tapi hak mereka untuk diingat adalah tanggung jawab kita semua. Bila negara gagal mencatat, maka masyarakat sipil, generasi muda, dan akademisi harus menjadi penjaga ingatan.
"Aceh pernah berdarah, dan darah itu belum kering dari sejarah. Jangan biarkan mereka yang mati tanpa jejak benar-benar menghilang dari cerita bangsa."