"Ayah Pergi, Kami Rindu Menanti Kembali"
Hidup tak pernah memberi tahu kapan perpisahan akan datang. Kadang terlalu cepat, kadang terlalu diam. Begitu pula dengan kepergian seorang ayah—ia pergi, dan menyisakan rindu yang tak pernah benar-benar selesai.
Ayah pergi bukan selalu karena kematian. Kadang ia pergi karena tugas, karena jarak, karena keadaan, atau karena takdir hidup yang membuatnya harus meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Tapi apa pun sebabnya, kepergian ayah selalu menciptakan ruang kosong yang tak mudah diisi oleh siapa pun.
Kami rindu, ayah. Rindu pada suaramu yang menegur dengan tegas tapi penuh cinta. Rindu pada tanganmu yang dulu menggandeng kami menyeberangi jalan kehidupan. Rindu pada peluhmu yang kau sembunyikan, agar kami bisa tertawa tanpa tahu betapa berat beban yang kau pikul.
Waktu boleh berjalan. Kami boleh tumbuh dan belajar menjadi dewasa. Tapi rindu pada ayah tak pernah usang. Ia hidup di sela-sela malam, di antara doa-doa yang lirih, di balik pencapaian yang ingin kami tunjukkan kepadamu, meski engkau jauh.
Kepergianmu mengajarkan kami satu hal penting: bahwa hidup adalah tentang menghargai, sebelum kehilangan benar-benar terjadi. Bahwa waktu bersama orang tua tak bisa diulang. Dan bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah rindu kepada orang yang dulu sangat dekat, namun kini hanya bisa kita peluk lewat doa.
Bagi yang ayahnya masih ada, peluklah ia selagi bisa. Jangan tunda kata “terima kasih” dan “maaf”. Karena tak ada yang tahu, sampai kapan waktu memberi kesempatan.
Bagi yang ayahnya telah pergi, doakanlah ia dengan sepenuh hati. Jadilah anak yang ia banggakan, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Karena sesungguhnya, doa anak yang shalih adalah hadiah paling mulia bagi ayah yang telah tiada.
"Ayah mungkin jauh, tapi cintanya tetap dekat. Ia mungkin diam, tapi pengorbanannya tetap bersuara. Maka jangan biarkan waktu mencuri rasa syukurmu. Rindu boleh menyakitkan, tapi biarlah ia menjadi pengingat untuk terus menjadi lebih baik."
Penulis Azhari