"
Nak,
Pernahkah kau melihat lelah di mata ayahmu?
Mungkin tidak, karena ia terlalu pandai menyembunyikan luka di balik senyumnya. Ayah bukanlah orang yang pandai berkata-kata. Ia bukan pencerita yang pandai menggugah hati, tapi ia adalah pekerja senyap yang rela menukar seluruh hidupnya demi masa depanmu.
Banyak anak mengenang kasih ibu, tapi lupa menakar lelahnya seorang ayah. Ayah tak selalu hadir dalam potret manis kehidupan karena ia terlalu sibuk di luar rumah—mengejar rupiah demi sesuap nasi, membayar uang sekolahmu, membelikanmu sepatu yang bagus, dan memastikan dapur tetap mengepul meski tubuhnya sendiri tak lagi kuat.
Ayah jarang mengeluh.
Ia tak pernah menceritakan betapa panasnya matahari membakar kulitnya, atau betapa dinginnya malam menusuk tulangnya saat ia pulang larut. Ia sembunyikan semua rasa sakitnya karena tak ingin anak-anaknya hidup dalam beban. Ia telan derita dalam diam, asal anak-anaknya bisa sekolah, bisa makan, dan kelak bisa hidup lebih baik dari dirinya.
Namun, sayangnya, tidak semua anak memahami itu.
Banyak yang tumbuh besar, lalu melupakan sosok yang diam-diam jadi alasan mereka bisa berdiri di atas panggung keberhasilan. Banyak yang merasa malu dengan pakaian lusuh ayahnya, tak sadar bahwa pakaian itulah yang membalut harga diri dan perjuangan yang tak ternilai.
Nak,
Jika hari ini engkau telah menjadi orang terpelajar, orang yang terpandang, atau bahkan pemimpin — jangan lupakan siapa yang membuatmu sampai di sana. Jangan bangga berjalan di karpet merah jika di hatimu tak lagi ada tempat untuk ayahmu yang dulu berjalan menembus hujan demi membelikanmu buku.
Jangan hanya mencintai ibumu karena air matanya, tapi cintailah juga ayahmu karena darah dan keringatnya.
Ayah tidak banyak meminta.
Ia hanya ingin dilihat, dihargai, dan didoakan. Ia hanya ingin mendengar bahwa anaknya telah menjadi orang baik, bukan hanya orang sukses. Sebab baginya, itu lebih dari cukup.
Dan kelak, saat ayah tiada, bukan warisan harta yang akan jadi bekalmu — tapi restunya, perjuangannya, dan doanya yang tak pernah ia ucapkan lantang, tapi diam-diam ia panjatkan setiap malam.
"Jangan tunggu pusara ayah untuk mulai menghargai keberadaannya. Jangan tunggu waktu menghapusnya untuk mengerti betapa besar cinta yang tak pernah ia ucapkan."
Penulis Azhari