Dalam setiap keluarga, selalu ada satu sosok yang diam-diam memikul beban, menyembunyikan air mata di balik senyum, dan menaruh impian untuk anak-anaknya jauh di relung hati: Ayah. Meski tak selalu banyak bicara tentang cinta, perhatiannya terasa dalam cara-cara yang sering kali sederhana. Dan bagi kami, anak-anaknya, impian Ayah adalah bekal kehidupan yang terus hidup, meski mungkin raganya tak lagi membersamai.
Ayah bukan hanya kepala keluarga, tetapi juga pondasi keteguhan. Ia yang membangun rumah tangga bukan sekadar dari bata dan semen, melainkan dari nilai, doa, dan pengorbanan. Kami, anak-anaknya, mungkin dulu terlalu kecil untuk memahami berat langkah yang Ayah tempuh demi memastikan kami bisa makan, bersekolah, dan punya masa depan lebih baik dari apa yang pernah beliau alami. Kini, setelah usia dewasa merangkul kami, barulah semua cerita, harapan, dan pengorbanan itu menemukan maknanya.
Impian yang Tidak Pernah Luntur
Ayah kami bukan seorang pejabat, bukan pula orang kaya, tapi beliau memiliki impian besar untuk anak-anaknya. Impian agar kami menjadi orang yang berguna, yang menjaga nama baik keluarga, dan tidak melupakan asal-usul. Impian itu tak pernah dituliskan di dinding rumah, tak pula diumbar dalam kata-kata manis. Ia terpatri di hati, tampak dalam peluh yang beliau tumpahkan, dalam nasihat singkat di waktu malam, dan dalam kegetiran yang kadang beliau sembunyikan di balik diam.
Saya masih ingat, di suatu malam selepas salat Isya, Ayah pernah berkata, “Nak, kalau Ayah tak ada nanti, jangan pernah berhenti jadi orang baik. Karena hidup ini bukan tentang seberapa banyak harta yang kita punya, tapi tentang seberapa banyak orang mendoakan kita saat kita sudah tiada.” Kalimat itu sederhana, tapi begitu berat maknanya. Dan kini, ketika Ayah telah berpulang, kalimat itu menjadi suluh dalam gelapnya jalan kehidupan.
Perjuangan yang Tidak Kami Sadari Saat Itu
Masa kecil kami dipenuhi oleh hal-hal yang mungkin saat itu tampak biasa saja. Tapi setelah dewasa, kami mulai paham betapa sulitnya perjuangan Ayah. Uang sekolah, baju baru saat lebaran, hingga sekadar jajanan di waktu senggang, semua itu butuh kerja keras yang tidak ringan. Ayah bekerja dari pagi hingga malam, tanpa banyak mengeluh. Tak jarang kami lihat beliau pulang dengan wajah lelah, tapi tetap menyempatkan diri menanyakan kabar kami satu per satu.
Saya ingat betul, suatu hari Ayah terlambat pulang. Kami gelisah menunggunya di teras rumah. Ketika akhirnya beliau datang, saya lihat tangan Ayah penuh luka karena tergores saat bekerja di proyek. Tapi yang beliau khawatirkan bukan lukanya, melainkan apakah kami sudah makan dan belajar untuk ujian esok hari.
Warisan Tak Ternilai: Nilai Hidup dan Doa
Kini, ketika kami anak-anaknya telah tumbuh dan sebagian merantau, sebagian berkeluarga, warisan Ayah bukan berupa tanah luas atau harta melimpah. Warisan itu adalah nilai hidup, etika, dan keteguhan hati. Ayah mengajarkan kami untuk tidak mudah menyerah, untuk tetap rendah hati dalam keberhasilan, dan untuk tidak gentar dalam kesulitan.
Satu lagi warisan terbesar Ayah adalah doa. Kami tahu, setiap malam Ayah selalu menyebut nama kami dalam doanya, bahkan ketika kami lupa berdoa untuk diri sendiri. Dan setelah beliau berpulang, kini kami yang meneruskan kebiasaan itu, menyebut nama beliau dalam setiap sujud dan tahajud, agar di sana Ayah tenang, mengetahui bahwa impian dan pesan-pesannya masih kami pegang erat.
Pesan untuk Generasi Muda
Banyak anak muda hari ini yang terlalu sibuk mengejar dunia, hingga lupa akan orang tua yang pernah menggendongnya tanpa pamrih. Kita lupa bahwa sebelum kita bisa berdiri tegak, ada punggung tua yang pernah menahan beban demi membuat kita bisa melangkah.
Jangan sampai kita baru merindukan sosok Ayah saat beliau sudah tiada. Saat suaranya tinggal gema di telinga, dan senyumnya hanya bisa kita lihat di foto. Luangkan waktu untuk berbincang, mendengar kisahnya, dan mencatat pesan-pesan kecil yang mungkin suatu hari menjadi pelita saat kita tersesat di belantara kehidupan.
Impian Ayah tidak pernah mati. Ia hidup di setiap langkah kaki anak-anaknya. Setiap keberhasilan kami adalah bukti bahwa perjuangan dan doa beliau tidak sia-sia. Meski raganya telah kembali ke tanah, cintanya abadi di hati kami.
Dan kami tahu, di suatu tempat yang jauh, Ayah tersenyum melihat kami bertumbuh, tetap menjaga nilai yang beliau tanam, dan meneruskan impian-impian yang dulu beliau titipkan.
"Ayah, impianmu tetap kami jaga, doamu tetap kami panjatkan. Tenanglah di sana, sebab kami anak-anakmu, tetap mencintaimu sepenuh hati."