Di balik riuhnya sejarah kebangkitan dan kejatuhan imperium dunia, ada narasi kecil namun bermakna besar tentang jejak Aceh di tanah Ottoman, khususnya jejak sebuah kapal: Kapal Aceh di Turki. Bagi sebagian orang, ini sekadar artefak. Namun bagi mereka yang paham sejarah, kapal itu adalah simbol ikatan ukhuwah Islamiyah, tekad kedaulatan, dan diplomasi maritim dari negeri ujung barat Nusantara.
Kisah Awal: Diplomasi Aceh dan Ottoman
Pada abad ke-16, ketika Kesultanan Aceh Darussalam menghadapi tekanan dari Portugis yang telah menguasai Selat Malaka, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar mengirim utusan ke Istanbul. Permintaan bantuan ini bukan semata-mata karena faktor militer, tetapi karena Aceh menyadari posisi strategisnya dalam jaringan dunia Islam.
Kesultanan Utsmani (Ottoman), sebagai Khilafah Islam yang kuat saat itu, menyambut baik hubungan ini. Selain bantuan teknis militer seperti meriam dan pelatih, hubungan ini juga memperkuat legitimasi Aceh di mata dunia sebagai benteng Islam di Asia Tenggara.
Kapal Aceh: Jejak Persaudaraan di Galangan Turki
Salah satu peninggalan paling menakjubkan dari hubungan ini adalah sebuah kapal tradisional Aceh yang kini berada di Museum Maritim Istanbul. Kapal ini dikenal sebagai "kapal Aceh" karena desainnya khas Aceh dan berbeda dari galangan Ottoman.
Kapal tersebut bukan hanya benda mati. Ia adalah saksi bisu dari diplomasi spiritual, perdagangan rempah, dan semangat jihad melawan kolonialisme. Dalam arsip Kesultanan Utsmani, kapal ini disebut sebagai hadiah dari sultan Aceh, bagian dari rasa syukur atas solidaritas antara dua bangsa muslim.
Makna Simbolik dan Strategis
-
Simbol Persaudaraan Islam Global Kapal Aceh menjadi tanda nyata bahwa dunia Islam pernah bersatu dalam satu ikatan aqidah dan solidaritas. Hubungan Aceh dan Turki adalah contoh paling nyata dari ukhuwah Islamiyah yang melampaui batas geografis.
-
Bukti Maritimisme Aceh Kapal ini sekaligus membantah narasi bahwa Nusantara hanya pasif dalam perdagangan global. Aceh bukan hanya penerima bantuan, tapi pemain aktif di panggung internasional, bahkan dalam dunia pelayaran dan teknologi kapal.
-
Identitas dan Harga Diri Bangsa Dalam konteks kekinian, keberadaan kapal ini adalah penanda bahwa bangsa Aceh memiliki peradaban tinggi. Aceh bukan hanya wilayah konflik atau sejarah perang, tapi juga bangsa pelaut dan pedagang ulung.
Tantangan Pelestarian dan Penyadaran
Ironisnya, meskipun kapal Aceh masih terawat baik di Turki, banyak anak-anak Aceh dan Indonesia justru tidak tahu-menahu tentangnya. Di buku-buku pelajaran, jarang disinggung kisah hubungan Aceh-Ottoman. Bahkan di Aceh sendiri, tidak ada museum maritim yang mengangkat kejayaan pelaut-pelaut Aceh.
Ini adalah tantangan besar. Apalah arti jejak sejarah jika tidak dihidupkan kembali? Sejarah bukan sekadar kenangan, tetapi juga bahan bakar harga diri dan arah masa depan.
Rekomendasi dan Refleksi
-
Diplomasi Kebudayaan Pemerintah Aceh dan Indonesia seharusnya menjadikan kapal Aceh sebagai duta sejarah. Misalnya dengan membuat replika di Banda Aceh atau menjadikan hubungan Aceh-Turki sebagai bagian dari program pertukaran budaya dan sejarah.
-
Pendidikan Sejarah Lokal Sekolah-sekolah di Aceh perlu memasukkan narasi sejarah seperti ini ke dalam kurikulum lokal. Bukan sekadar mengenang, tapi membentuk karakter anak bangsa yang sadar akan kemuliaan masa lalunya.
-
Kesadaran Kolektif Generasi muda Aceh perlu bangkit dan belajar dari kapal ini: bahwa untuk dihormati dunia, bangsa harus mandiri, cerdas berdiplomasi, dan menjaga kehormatan nilai-nilai Islam.
Kapal yang Menyimpan Doa
Kapal Aceh di Turki bukan hanya kayu dan paku. Ia adalah doa yang berlayar jauh dari tanah rencong, membawa harapan, diplomasi, dan ukhuwah. Kini saatnya kita bertanya: Apakah generasi sekarang mampu melanjutkan pelayaran sejarah itu, atau kapal itu akan karam di laut lupa bangsa sendiri?