Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Anak dan Masa Depan Warisan untuk Aceh

Kamis, 07 Agustus 2025 | 20:35 WIB Last Updated 2025-08-07T13:35:33Z



 Menjaga Estafet Peradaban

Aceh adalah tanah yang kaya akan sejarah, budaya, dan nilai-nilai Islam yang tertanam kuat. Namun, pertanyaan besar hari ini adalah: warisan seperti apa yang sedang kita persiapkan untuk anak-anak kita? Di tengah perubahan zaman, digitalisasi, dan globalisasi, masa depan Aceh tidak hanya ditentukan oleh infrastruktur atau kekayaan alam, tetapi terutama oleh kualitas generasi penerus—anak-anak Aceh itu sendiri.

Mereka bukan hanya pewaris harta, tapi pewaris jati diri, tradisi, perjuangan, dan harga diri bangsa. Maka, perhatian terhadap masa depan anak-anak bukan sekadar tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab kolektif pemerintah, ulama, pendidik, dan seluruh masyarakat.


Anak Aceh: Pewaris atau Korban Zaman?

Ironisnya, banyak anak Aceh hari ini tumbuh di tengah konflik sosial, kemiskinan, perceraian orang tua, dan kurangnya akses pendidikan bermutu. Belum lagi pengaruh media sosial dan budaya digital yang menimbulkan krisis identitas di kalangan generasi muda. Mereka lebih mengenal tren TikTok daripada sejarah Cut Nyak Dhien, lebih paham game online daripada Qanun Aceh atau hikayat raja-raja Islam yang pernah berjaya.

Bila generasi ini kehilangan akar dan jati diri, maka warisan perjuangan, nilai adat, dan peradaban Aceh hanya akan tinggal nama dalam buku sejarah.


Warisan Sejati Bukan Sekadar Harta

Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Apabila anak Adam wafat, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Warisan yang sejati bukan semata-mata tanah, rumah, atau emas yang ditinggalkan. Justru yang lebih utama adalah anak yang berkualitas, beriman, berakhlak, dan cerdas secara sosial dan intelektual. Sayangnya, banyak orang tua hari ini lebih sibuk mengumpulkan harta warisan, tapi lupa mewariskan nilai-nilai kehidupan yang luhur.


Refleksi Sistem Pendidikan dan Peran Keluarga

Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Di sinilah nilai-nilai dasar diajarkan: kejujuran, tanggung jawab, cinta ilmu, dan cinta tanah air. Namun di era digital, peran keluarga kerap tergantikan oleh gawai. Anak-anak lebih dekat dengan gadget daripada dengan orang tuanya. Maka tak heran bila banyak anak kehilangan arah sejak dini.

Aceh perlu merumuskan kembali sistem pendidikan berbasis nilai lokal dan keislaman, yang memperkuat peran keluarga dalam menyiapkan anak sebagai generasi penerus warisan Aceh. Pendidikan harus diarahkan tidak hanya untuk mencetak pekerja, tetapi pencetak pemimpin dan pejuang masa depan.


Tanggung Jawab Negara dan Qanun Perlindungan Anak

Sebagai daerah dengan keistimewaan dan kekhususan, Aceh memiliki peluang besar untuk merumuskan kebijakan perlindungan anak yang berakar dari nilai Islam dan adat. Pemerintah Aceh perlu:

  1. Memperkuat Qanun Perlindungan Anak agar lebih operasional dan berpihak pada hak anak untuk tumbuh sehat, cerdas, dan religius.
  2. Mengintegrasikan kurikulum pendidikan karakter berbasis sejarah Aceh dan nilai-nilai perjuangan.
  3. Menyiapkan skema sosial bagi anak-anak korban perceraian, kemiskinan ekstrem, dan kekerasan.
  4. Memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan potensi mereka dalam bidang seni, budaya, ilmu pengetahuan, dan kepemimpinan.

Menjaga Anak, Menjaga Aceh

Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa investasi pada generasi. Masa depan Aceh bukan ditentukan oleh besarnya dana otonomi khusus, tapi oleh sejauh mana anak-anak Aceh hari ini dididik, dilindungi, dan diberi ruang untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya. Jangan biarkan mereka hanya menjadi angka statistik pengangguran atau korban dekadensi moral.

Warisan terbesar untuk Aceh bukanlah gedung, jalan, atau proyek tambang. Tapi anak-anak yang mencintai tanah ini, mau berjuang untuknya, dan mampu menjaga martabatnya di masa depan.


Saatnya Bertindak

Aceh tidak kekurangan sejarah, tidak kekurangan syuhada, tidak kekurangan ulama. Tapi Aceh akan kehilangan segalanya jika kehilangan generasi. Maka, mari jadikan anak-anak sebagai prioritas dalam setiap kebijakan, doa, dan tindakan. Sebab di tangan merekalah, masa depan Aceh akan ditulis ulang: sebagai negeri yang bangkit, bermartabat, dan dirahmati.


Penulis 

Azhari