Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Wasiat Terakhir Kita, untuk Anak di Aceh Sebelum Meninggal Dunia

Kamis, 07 Agustus 2025 | 22:53 WIB Last Updated 2025-08-07T15:54:05Z






Ketika Zaman Berpacu, Apa yang Tertinggal di Belakang?

Hari ini, Aceh berada di simpang jalan sejarah. Damai telah berusia dua dekade. Tetapi, di balik ketenangan lahiriah, ada kekhawatiran batiniah: apakah anak-anak kita masih tahu siapa mereka? Apakah mereka mengenal sejarah darah dan air mata para leluhur yang menjadikan Aceh tanah yang disegani?

Menjelang akhir hidup, bila Allah memberi umur panjang atau ajal datang tiba-tiba, banyak orangtua di Aceh mulai memikirkan satu hal: wasiat terakhir apa yang harus kita titipkan kepada anak-anak kita? Bukan sebatas harta, tetapi lebih pada nilai, jati diri, dan pelita jalan di masa depan.


Mewariskan Tanah, Atau Mewariskan Identitas?

Kita bisa mewariskan rumah, sawah, emas, atau toko. Tapi sejarah membuktikan: tanah bisa habis, tetapi identitas yang diwariskan akan abadi. Banyak orang kaya meninggal dunia, namun anaknya tak sanggup mempertahankan harga diri karena tak pernah diberi bekal nilai.

Aceh bukan hanya sekadar provinsi dengan qanun syariat. Aceh adalah narasi panjang perjuangan, keberanian, kemandirian, dan keilmuan. Apa gunanya bila anak-anak kita tidak lagi mengerti siapa Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Tgk Chik di Tiro, atau Hasan Tiro? Mereka bisa lupa asal usulnya, dan akhirnya, tak tahu ke mana harus kembali ketika tersesat dalam dunia modern.


Refleksi Sejarah: Wasiat Para Pejuang

Wasiat-wasiat para pejuang Aceh dahulu tidak berbentuk lembaran sertifikat tanah. Mereka mewariskan semangat. Tgk Chik di Tiro pernah berkata bahwa hidup harus dijalani dengan kehormatan, bukan hanya dengan kenyamanan.

Di masa penjajahan Belanda, para ulama menulis risalah dan menyerahkan pesan moral ke murid-murid mereka. Mereka tahu bahwa kemerdekaan hakiki hanya bisa dicapai jika ruh perjuangan tetap hidup dalam dada generasi muda.


Wasiat Moral: Jujur, Adil, dan Tak Takut Menyuarakan Kebenaran

Sebagai orangtua Aceh hari ini, kita harus sadar: anak-anak kita dikepung zaman penuh tipuan. Media sosial menawarkan kemewahan palsu, sementara budaya luar merayap masuk memudarkan nilai lokal. Bila kita tidak sempat mengajari banyak hal, setidaknya wasiatkan tiga hal ini:

  1. Jujur dalam hidup, karena orang jujur tidak akan pernah takut pada apa pun selain Allah.
  2. Adil dalam menilai, karena keadilan adalah tiang utama kebangkitan masyarakat.
  3. Berani menyuarakan kebenaran, karena diam terhadap kemungkaran adalah benih kehancuran.

Wasiat Hukum dan Ilmu: Bekal Tak Terbantahkan

Jika hidup memberi kita kesempatan, tulislah wasiat dalam bentuk tulisan, rekaman, atau paling tidak perbincangan hangat dengan anak-anak: tentang siapa kita, untuk apa kita hidup, dan untuk siapa kita harus berjuang.

Ajarkan mereka tentang pentingnya hukum syariat, tentang tanggung jawab terhadap sesama, dan tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Sejarah Aceh selalu menempatkan ulama dan cendekiawan sebagai pemimpin. Maka, wariskan nilai keilmuan, bukan sekadar ijazah.


Menjaga Aceh dengan Wasiat

Aceh tak akan bertahan dengan infrastruktur dan proyek. Ia bertahan bila generasi mudanya membawa nilai-nilai luhur. Wasiat terakhir kita bukan soal rumah di kota, melainkan soal rumah dalam jiwa: rumah yang berisi nilai adat, agama, dan sejarah.

Bila kita semua mewariskan hal ini pada anak-anak kita, maka Aceh tidak akan punah meski zaman terus berubah. Tapi jika kita abai, maka generasi berikut hanya akan menjadi penonton—asing di tanah sendiri.


Wasiat Itu Harus Dimulai Hari Ini

Menunggu ajal untuk menulis wasiat adalah kesalahan. Wasiat nilai harus ditanamkan sejak anak kecil. Mari mulai dari hari ini—dalam obrolan sederhana, dalam doa, dalam keteladanan sehari-hari.

Sebelum kita menutup mata, pastikan anak-anak kita membuka mata mereka pada sejarah dan jati dirinya. Itulah wasiat terakhir yang tak akan lapuk ditelan waktu.


Penulis Azhari