Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Bangsa Aceh dan Generasi Emas Masa Depan: Dari Desa Tumbuh Harapan Pemimpin Aceh

Kamis, 07 Agustus 2025 | 22:59 WIB Last Updated 2025-08-07T16:04:18Z





 Di Mana Kita Berdiri

Bangsa Aceh adalah bangsa besar yang pernah berjaya, memimpin, dan menjadi mercusuar ilmu, marwah, dan keberanian di Asia Tenggara. Namun, sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah cermin yang menantang kita untuk menatap masa depan. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang deras, di manakah generasi Aceh kini berdiri? Siapakah penerus harapan itu?

Satu jawaban pasti: harapan itu tumbuh di desa-desa. Di balik keterbatasan akses dan fasilitas, tumbuh generasi Aceh yang kuat, jujur, dan berjiwa pemimpin. Dari desa, kita bangkit.


Warisan Perjuangan dan Kemerdekaan yang Tak Boleh Luntur

Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan. Sejarah darah dan doa. Dari Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Sultan Iskandar Muda, hingga para tokoh pejuang modern, semuanya mewariskan satu pesan: jangan biarkan Aceh kehilangan jati dirinya. Perjuangan bukan hanya tentang mengangkat senjata, tapi juga mempertahankan martabat, nilai, dan masa depan anak cucu.

Kini, saat suara merdeka bergema dalam bentuk lain – seperti otonomi, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bersih – pertanyaannya: apakah generasi hari ini siap melanjutkan estafet itu?


Desa: Pusat Pertumbuhan Pemimpin Masa Depan

Di tengah hiruk pikuk kota, desa sering terabaikan. Namun desa adalah nadi kehidupan. Di sanalah nilai-nilai asli Aceh masih hidup – seperti gotong royong, adab, syariat, dan kesederhanaan yang berwibawa. Justru dari desa, pemimpin besar harus dibina.

Kita tidak boleh terus-menerus menggantungkan masa depan Aceh pada elit lama atau kekuatan politik yang terjebak kompromi. Kita butuh darah baru. Anak-anak muda dari desa yang memahami akar, namun berpikiran maju; yang tidak sekadar berburu jabatan, tapi punya misi mulia untuk mengangkat kembali martabat Aceh.


Generasi Emas: Bukan Mimpi, Tapi Tugas

Pemerintah kerap menggaungkan istilah “generasi emas.” Namun tanpa pendidikan yang membebaskan, kepemimpinan yang menginspirasi, dan keteladanan dari para pendahulu, istilah itu hanya jadi jargon kosong.

Generasi emas untuk Aceh harus dibentuk lewat:

  1. Pendidikan berbasis nilai dan sejarah lokal
    Anak Aceh harus tahu siapa dirinya, siapa leluhurnya, dan apa tanggung jawabnya.

  2. Penguatan ekonomi desa
    Tanpa kemandirian ekonomi, mustahil lahir pemimpin yang bebas dari tekanan dan kompromi politik.

  3. Pelibatan pemuda dalam pembangunan
    Banyak pemuda Aceh yang hanya dijadikan mesin suara politik lima tahunan. Sudah saatnya mereka diberi ruang untuk memimpin bukan hanya kampanye, tapi juga pemerintahan, badan usaha, dan pengelolaan sumber daya.


Sosok Harapan Kemerdekaan Aceh yang Baru

Kemerdekaan Aceh bukan lagi soal lepas dari NKRI. Kemerdekaan itu kini berbentuk kebebasan berpikir, keadilan sosial, dan keberdayaan rakyat. Sosok harapan masa depan bukan sekadar orator di mimbar politik, tetapi mereka yang bisa:

  • Menyatukan, bukan memecah.
  • Membangun dengan visi, bukan menjual tanah warisan.
  • Menjaga ruh Aceh: agama, adat, dan keberanian intelektual.

Pemimpin baru Aceh mungkin bukan keturunan bangsawan atau eks kombatan, tetapi anak petani dari desa Peureulak, anak nelayan dari Pulo Aceh, atau santri dari Dayah di Sawang. Siapa pun dia, yang penting adalah ketulusan, keteguhan, dan keberanian mengambil tanggung jawab sejarah.


Penutup: Wasiat untuk Masa Depan

Jika hari ini kita diberi kesempatan menyampaikan wasiat untuk anak-anak Aceh, maka bunyinya mungkin seperti ini:

"Anakku, jangan biarkan Aceh menjadi tanah yang hanya dikenang karena sejarah, tetapi tidak dihargai di masa depan. Jadilah pemimpin yang bukan sekadar memimpin, tapi menjaga amanah. Bangkitlah dari desa, dari sujud-sujud panjang ibumu, dari keringat ayahmu, dan dari airmata para syuhada yang gugur tanpa pamrih. Jangan kejar jabatan, kejarlah pengabdian. Itulah makna kemerdekaan sejati."


Aceh menunggu generasi emasnya. Bukan di mimbar politik, tapi di ladang-ladang desa, di ruang-ruang kelas dayah, dan di hati mereka yang bersih dari ambisi kekuasaan. Dari sanalah pemimpin sejati akan lahir.


Penulis Azhari