Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hukum Kehidupan dalam Masyarakat di Era Digital

Kamis, 07 Agustus 2025 | 20:11 WIB Last Updated 2025-08-07T13:11:23Z





Era Baru, Tantangan Baru

Kita hidup di zaman yang ditandai oleh digitalisasi massif di segala aspek kehidupan. Era digital tidak hanya merombak cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi, tetapi juga memunculkan tantangan-tantangan hukum yang kompleks dan belum sepenuhnya terjangkau oleh norma-norma lama. Dunia maya kini bukan sekadar tempat untuk berbagi informasi, tetapi juga menjadi arena konflik, ruang bisnis, penyebaran ideologi, bahkan ladang kejahatan.

Pertanyaannya: bagaimana hukum kehidupan bermasyarakat harus berevolusi? Apakah hukum konvensional cukup untuk menjawab kompleksitas dunia digital, atau perlu rekonstruksi norma yang lebih responsif terhadap zaman?

Digitalisasi dan Pergeseran Etika Sosial

Di era digital, batas privat dan publik menjadi kabur. Gambar pribadi tersebar tanpa izin, fitnah dan hoaks menjadi konsumsi harian, serta ujaran kebencian mewarnai kolom komentar media sosial. Norma sosial yang dulunya menahan seseorang dari memalukan orang lain di depan umum, kini seolah runtuh oleh anonimitas dan kenyamanan jarak.

Dalam masyarakat digital, seseorang bisa menjadi “pembunuh karakter” hanya dengan satu postingan. Maka, hukum kehidupan tidak lagi cukup hanya mengatur hubungan fisik atau lisan, tetapi juga relasi digital. Keadaban digital perlu diintegrasikan sebagai bagian dari hukum sosial yang dijunjung bersama.

Hukum Formal: Terlambat Mengejar Digital?

Di Indonesia, regulasi hukum untuk ruang digital memang sudah mulai terbentuk—mulai dari UU ITE, perlindungan data pribadi, hingga aturan siber lainnya. Namun, seringkali hukum positif kita tertinggal dibandingkan kecepatan perubahan teknologi. Di saat media sosial berubah algoritma dalam hitungan minggu, pembentukan UU bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Belum lagi, pendekatan hukum yang represif—seperti penangkapan pengguna media sosial karena unggahan tertentu—kadang justru menimbulkan masalah baru: pembungkaman kritik atau kriminalisasi rakyat biasa. Maka perlu ada keseimbangan antara penegakan hukum dan pendidikan digital yang memperkuat etika bermedia.

Peran Adat dan Etika Lokal di Ruang Digital

Aceh, sebagai salah satu wilayah yang menerapkan hukum Islam dan adat secara paralel, memiliki peluang untuk membentuk model hukum kehidupan digital yang berbasis nilai lokal. Dalam masyarakat Aceh, hukum adat pernah menjadi alat utama untuk menjaga keharmonisan sosial. Mengapa tidak dikembangkan menjadi "Adat Digital Aceh"?

Misalnya, budaya menjaga aib orang lain, larangan memfitnah, dan kewajiban bermusyawarah bisa diadaptasi menjadi pedoman interaksi digital. Sebuah platform digital komunitas Aceh bisa menjadi ruang edukasi dan pengadilan sosial berbasis nilai lokal—sebuah bentuk hukum kehidupan digital berbasis kearifan.

Pendidikan sebagai Pilar Hukum Sosial Digital

Tidak semua bisa diselesaikan lewat hukum formal. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara berpikir. Pendidikan digital sejak dini menjadi sangat penting. Anak-anak hari ini adalah penduduk asli dunia maya, namun banyak dari mereka buta akan etika digital. Mereka tahu cara menggunakan aplikasi, tapi tidak tahu konsekuensi hukum dan moral dari konten yang mereka sebarkan.

Pendidikan hukum digital harus dimulai dari rumah, diperkuat di sekolah, dan dijaga oleh komunitas. Dalam pendidikan agama, perlu juga ditanamkan fiqih bermedia, bagaimana menjaga kehormatan orang lain, tidak menyebar keburukan, serta menggunakan media untuk kebaikan.

Masa Depan: Rekonstruksi Hukum Kehidupan

Di masa depan, hukum kehidupan tidak lagi hanya berbicara soal tindakan fisik dan lisan, tapi harus meluas ke dunia digital. Kita perlu membangun:

  1. Etika Digital Kolektif: Kesepakatan sosial bahwa media bukan tempat menyebar kebencian atau mempermalukan orang lain.
  2. Regulasi yang Adaptif: Hukum negara yang mampu mengejar kecepatan teknologi tanpa mengorbankan kebebasan sipil.
  3. Peran Ulama dan Adat: Menguatkan peran tokoh adat dan agama untuk menanamkan nilai luhur dalam dunia digital.
  4. Pengawasan Masyarakat: Budaya saling mengingatkan dan mengedukasi agar ekosistem digital sehat.
  5. Platform Berbasis Nilai Lokal: Membangun media sosial lokal yang memuat nilai-nilai lokal Aceh, Islam, dan budaya ketimuran.

Menuju Peradaban Digital yang Bermartabat

Era digital adalah peluang sekaligus tantangan. Ia bisa menjadi alat pembebasan, atau alat perusak tatanan sosial jika tidak dikendalikan. Maka, hukum kehidupan harus terus bertransformasi, dari sekadar teks dalam pasal menjadi nilai yang hidup dalam interaksi sehari-hari—baik di dunia nyata maupun maya.

Aceh, Indonesia, dan dunia harus bersiap bukan hanya dengan perangkat hukum yang tegas, tapi juga dengan jiwa sosial digital yang bermartabat. Karena tanpa itu, kemajuan teknologi hanya akan mempercepat kehancuran moral masyarakat.


Penulis Azhari