Setelah Api Padam, Asap Masih Mengepul
Dua puluh tahun telah berlalu sejak dentuman senjata di Aceh dihentikan oleh penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. Perjanjian damai yang monumental antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia menjadi tonggak harapan, bahwa darah tidak lagi perlu tumpah di tanah yang dahulu disebut Serambi Mekkah. Namun hari ini, setelah sebagian besar tokoh utama perjuangan Aceh telah wafat, kita sebagai generasi penerus harus menjawab pertanyaan yang mendalam: ke mana arah Aceh ke depan? Apakah akan melanjutkan jalan damai, atau membuka kembali luka lama dan bara perang yang nyaris padam?
Jejak Perjuangan dan Warisan Luka
Perjuangan bersenjata di Aceh bukan sekadar episode sejarah, tapi babak panjang yang mengukir luka dalam di tubuh dan jiwa masyarakat. Ribuan orang menjadi korban, desa-desa hangus, dan trauma psikologis menjalar hingga ke anak cucu. Namun, di balik semua itu, semangat perjuangan yang diwariskan oleh para tokoh GAM bukan tanpa makna: mereka membawa satu pesan besar, yaitu martabat, keadilan, dan hak menentukan nasib sendiri.
Kini, sebagian besar tokoh utama perjuangan telah tiada. Hasan Tiro sebagai pemimpin tertinggi GAM telah wafat, begitu pula dengan banyak panglima lapangan dan tokoh politik hasil transformasi gerakan bersenjata ke ranah demokrasi. Mereka telah mewariskan amanah: Aceh harus maju tanpa kehilangan identitas dan martabat.
Namun warisan itu kini di tangan kita – generasi yang tidak mengalami medan perang, tapi mewarisi dampaknya. Apakah kita cukup kuat menanggungnya?
Dua Jalan yang Membentang: Perang atau Perdamaian
Hari ini, Aceh berada di persimpangan jalan sejarah.
Di satu sisi, ada jalan perdamaian. Ia adalah jalan pembangunan, demokrasi, dan stabilitas. Jalan ini tidak sempurna – korupsi merajalela, kemiskinan belum terselesaikan, pendidikan tertinggal, dan moral birokrasi mulai keropos. Namun tetap, jalan damai menawarkan kesempatan untuk memperbaiki dengan cara yang beradab, tanpa harus menodai tanah ini dengan darah lagi.
Di sisi lain, ada jalan nostalgia terhadap perlawanan. Tidak sedikit generasi muda yang kecewa pada hasil damai Helsinki – otonomi khusus tak sepenuhnya berpihak pada rakyat, elit lokal bergelimang kuasa tapi melupakan rakyat, dan janji-janji perjuangan terasa seperti ilusi belaka. Kekecewaan ini bisa menjadi bara yang menyulut kembali hasrat konflik, apalagi ketika ketidakadilan struktural terus berulang.
Tetapi, mari kita jujur: apa yang bisa diperoleh dari perang selain kehilangan, kemunduran, dan kehancuran moral? Bila para tokoh perjuangan saja memilih meja perundingan, mengapa kita yang mewarisi kedamaian justru ingin mengobarkannya kembali?
Generasi Hari Ini: Antara Pewaris dan Pengkhianat Sejarah
Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: Apakah generasi muda Aceh hari ini benar-benar memahami sejarah perjuangan? Banyak yang menggunakan simbol-simbol GAM hanya sebagai identitas politik atau gaya hidup di media sosial, tapi kehilangan substansi perjuangan itu sendiri.
Perjuangan itu bukan tentang bendera atau jargon “merdeka”, tetapi tentang memperjuangkan rakyat agar hidup dalam keadilan, berdaulat atas sumber daya, dan memiliki martabat di hadapan negara. Jika generasi muda hanya menggunakan warisan sejarah untuk kepentingan pribadi, maka mereka bukanlah pewaris perjuangan, tetapi pengkhianatnya.
Kita tidak membutuhkan generasi yang hanya pandai mengutuk masa kini tanpa solusi, atau yang hanya bernostalgia tanpa kerja nyata. Yang kita butuhkan adalah generasi yang mampu melanjutkan semangat perjuangan dalam bentuk baru: membangun pendidikan, melawan korupsi, memperjuangkan ekonomi rakyat, menjaga adat dan syariat dengan cerdas, serta mengangkat martabat Aceh di panggung nasional dan internasional.
Warisan Terakhir Para Syuhada
Para tokoh perjuangan sudah tiada. Tapi yang belum tiada adalah moralitas perjuangan mereka. Kita tidak bisa hidup dari sejarah semata, tapi kita bisa hidup dengan arah dan pelajaran dari sejarah itu.
Aceh tidak perlu kembali ke hutan dan senjata. Aceh butuh kembali ke akal sehat, ke strategi panjang, dan ke kesadaran bahwa perubahan hakiki tidak datang dari peluru, tapi dari pengetahuan, integritas, dan kebersamaan.
Mari bertanya pada diri kita sendiri:
Apakah kita generasi penerus atau justru penghancur warisan?
Apakah kita ingin dikenang sebagai penjaga damai atau penyulut konflik baru?
Pilihan itu kini di tangan kita.
Tentang Penulis:
Azhari