Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Mulia Aceh bak Mata Gata, Ithe Aceh bak Mata Doya: Dari Masa Lalu Menuju Masa Depan – Siap Maju atau Perang Kembali

Kamis, 07 Agustus 2025 | 19:52 WIB Last Updated 2025-08-07T12:52:59Z




Aceh dalam Bayangan Sejarah dan Harapan Masa Depan

Mulia Aceh bak mata gata, ithe Aceh bak mata doya.
Pepatah ini tidak hanya indah secara bahasa, tapi juga dalam maknanya. Ia menggambarkan posisi Aceh yang kuat dan waspada seperti “mata gata” (ular), namun sekaligus lembut dan tulus seperti “mata doya” (rusa). Sejarah Aceh memang menyimpan perpaduan itu: kekuatan militer Kesultanan Aceh Darussalam di satu sisi, dan keluhuran adat serta kasih sayang terhadap rakyat di sisi lain.

Namun kini, dua puluh tahun setelah damai diteken di Helsinki pada tahun 2005, apakah Aceh masih memegang filosofi itu? Ataukah kita sedang tergelincir dalam kemelut kepentingan sempit dan kehilangan arah sejarah?

Aceh: Tanah Berdaulat yang Diperebutkan Sejarah

Aceh bukan tanah biasa. Ia adalah tanah yang pernah mengusir kolonial, menjadi pelopor kemerdekaan, bahkan menjadi satu-satunya wilayah yang secara hukum internasional dan politik pernah memiliki status state (negara) dalam sejarah modern Nusantara. Tapi semua kebesaran itu tak bisa diwarisi jika hanya tinggal dalam buku dan tugu peringatan.

Ketika para pejuang Aceh satu per satu dipanggil oleh Tuhan, kita melihat kekosongan moral dalam kepemimpinan. Dari masa Darul Islam, DOM, hingga GAM dan MoU Helsinki — semua menjadi pelajaran mahal. Tapi apakah pelajaran itu sudah menjadi kesadaran?

Dari Perang ke Perdamaian: Tapi Apakah Benar-benar Damai?

MoU Helsinki di tahun 2005 menjadi momentum penting. Namun damai bukan hanya soal senjata yang disimpan, tetapi juga soal keadilan ditegakkan, hak rakyat dihormati, dan cita-cita perjuangan tidak dikhianati.

Kini banyak generasi muda yang lahir setelah damai, tapi tidak memahami mengapa dulu terjadi konflik. Yang menyedihkan, para elit yang dulu bersumpah atas nama rakyat, kini sebagian sibuk dengan proyek, dana Otsus, dan pengaruh. Damai Aceh mulai terasa seperti formalitas, bukan semangat yang membakar.

Jika keadilan ekonomi tidak merata, jika anak-anak muda terus merantau karena tanah sendiri tidak menjanjikan masa depan, dan jika politik hanya diwarisi oleh kelompok tertentu — maka benarkah kita sedang membangun damai? Atau sedang menyimpan bara perang dalam senyap?

Aceh Masa Kini: Kemajuan atau Kepura-puraan?

Pembangunan fisik memang ada. Kantor baru, jalan beton, dan proyek infrastruktur. Tapi bangunan moral dan intelektual Aceh justru semakin keropos. Angka pengangguran tinggi, kasus perceraian meningkat, pendidikan merosot, dan korupsi mewabah. Di balik semua itu, rakyat bertanya dalam diam: di mana janji perjuangan dulu?

Kita tidak perlu perang lagi. Tapi kita juga tidak boleh diam ketika hak dan martabat rakyat Aceh diabaikan. Ada yang harus diperjuangkan kembali — bukan dengan senjata, tetapi dengan kesadaran, keberanian, dan solidaritas.

Mata Gata dan Mata Doya: Dua Wajah yang Harus Seimbang

Aceh tidak bisa hanya lembut seperti mata doya, yang mudah ditipu dan dikhianati oleh janji pusat maupun elite lokal. Tapi Aceh juga tidak bisa hanya tajam seperti mata gata, yang penuh kecurigaan dan kekerasan. Aceh masa depan butuh keduanya: waspada dalam prinsip, tapi lembut dalam pelayanan.

Itulah tugas generasi muda hari ini. Jangan warisi Aceh hanya sebagai narasi nostalgia. Tapi jadikan warisan itu sebagai bahan bakar untuk membangun sesuatu yang baru — Aceh yang adil, damai, modern, tapi tetap berakar pada adat, syariat, dan sejarahnya.

 Siap Maju atau Kembali ke Luka Lama?

Sejarah telah memberi kita cukup luka. Perang telah menelan terlalu banyak nyawa. Tapi kedamaian yang tidak jujur bisa melahirkan dendam baru. Maka, pertanyaannya bukan hanya apakah kita ingin maju atau perang kembali — tapi apakah kita siap memaknai perdamaian ini sebagai tanggung jawab, bukan hanya kebebasan?

Mulia Aceh bak mata gata, ithe Aceh bak mata doya.
Mari kita jaga keduanya. Jangan butakan mata gata oleh uang dan kekuasaan. Jangan padamkan mata doya oleh kepentingan dan dendam.

Aceh sedang berada di persimpangan. Maju atau mundur, damai atau resah, semua tergantung pada siapa yang hari ini berani memilih jalan yang benar — bukan yang paling mudah.


Penulis Azhari