Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Sumpah Aceh Merdeka oleh Oknum GAM dan Tantangan Masa Depan Aceh Damai

Kamis, 07 Agustus 2025 | 10:11 WIB Last Updated 2025-08-07T03:11:50Z




Luka yang Belum Sembuh

Dua dekade damai bukan jaminan bahwa luka konflik telah sembuh sepenuhnya. Di tengah perayaan 20 tahun penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, justru muncul kembali suara-suara keras: sumpah “Aceh Merdeka” yang digaungkan oleh segelintir oknum eks kombatan. Fenomena ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menyakitkan bagi banyak pihak yang telah bekerja keras menjaga perdamaian. Sebagian menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap MoU, namun sebagian lainnya memandangnya sebagai ekspresi kekecewaan atas realitas yang jauh dari harapan pasca-damai.

Tulisan ini merupakan upaya reflektif untuk menyelami ulang akar kemunculan sumpah tersebut serta merumuskan tantangan konkret bagi masa depan Aceh damai.


Kilas Balik MoU Helsinki: Harapan yang Dititipkan

Penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 adalah momen monumental dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Butir-butir kesepakatan dalam MoU menyentuh berbagai aspek: penghentian permusuhan, penarikan pasukan non-organik, reintegrasi eks kombatan, pemberian Otonomi Khusus (Otsus), hingga pembentukan partai lokal. Semua ini bertujuan menciptakan kehidupan yang adil, bermartabat, dan sejahtera bagi masyarakat Aceh.

Harapan itu begitu besar, terutama karena konflik selama tiga dekade telah menyisakan luka mendalam: korban jiwa, trauma sosial, ekonomi lumpuh, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Namun harapan besar itu belum sepenuhnya ditepati oleh pelaksana MoU—baik dari pihak Jakarta maupun elit lokal Aceh.


Fenomena Sumpah “Aceh Merdeka”: Antara Jeritan dan Ancaman

Dalam beberapa tahun terakhir, publik Aceh dan nasional dikejutkan oleh beredarnya video-video dan pernyataan dari oknum tertentu yang menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan Aceh belum selesai. Mereka mengklaim bahwa MoU hanya digunakan untuk membungkam perjuangan, bukan menyelesaikan akar masalah. Sebagian besar dari mereka adalah eks kombatan atau simpatisan yang merasa terpinggirkan dari dinamika kekuasaan politik dan ekonomi pasca-damai.

Apa yang mereka sampaikan?

  • Damai dianggap sebagai jebakan politik yang hanya menguntungkan elit tertentu.
  • Dana Otsus tidak dirasakan oleh rakyat akar rumput.
  • Partai lokal dianggap gagal memperjuangkan kepentingan masyarakat dan hanya mengejar kekuasaan.

Apa makna sumpah itu?

  • Bisa jadi ini adalah bentuk nostalgia terhadap perjuangan lama.
  • Atau jeritan dari generasi yang merasa dikhianati oleh “perdamaian elitis”.
  • Atau bahkan sebuah peringatan dini atas potensi konflik sosial baru jika ketimpangan terus dibiarkan.

Realitas Hari Ini: Dari Euforia ke Kekecewaan

1. Kegagalan Ekonomi Pasca-Damai

Aceh menerima lebih dari Rp100 triliun dana Otsus sejak 2008. Namun, indikator pembangunan ekonomi menunjukkan stagnasi dan bahkan ketimpangan:

  • Tingkat pengangguran dan kemiskinan masih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
  • Dana Otsus banyak habis untuk belanja pegawai dan infrastruktur non-strategis.
  • Sektor produktif, seperti pertanian, perikanan, dan UMKM, belum digarap serius.

Ironisnya, daerah yang pernah disebut sebagai “Tanah Rencong” kini justru menjadi contoh tentang bagaimana uang besar tidak otomatis mengubah keadaan rakyat.

2. Elitisme Politik dan Kegagalan Partai Lokal

Partai lokal yang seharusnya menjadi kanal perjuangan politik eks GAM sering kali terjebak dalam konflik internal, oligarki, dan pragmatisme kekuasaan. Rakyat tidak melihat perbedaan signifikan antara partai lokal dan partai nasional dalam membela kepentingan publik. Alih-alih menjadi jembatan rakyat, mereka lebih sering jadi rebutan kursi.

3. Keadilan yang Tertunda

Banyak korban konflik belum mendapatkan kompensasi yang layak. Proses pengakuan dan rekonsiliasi masih jalan di tempat. Lembaga KKR Aceh yang dibentuk untuk mencari keadilan transisi belum menjalankan mandatnya secara optimal karena minim dukungan politik dan anggaran.


Tantangan Masa Depan Aceh Damai

a. Mengatasi Ketimpangan dan Membangun Ekonomi Rakyat

Aceh harus meninggalkan pola pembangunan yang elitis. Dana Otsus perlu diarahkan untuk:

  • Penguatan ekonomi desa.
  • Pembinaan UMKM, koperasi syariah, dan pertanian modern.
  • Revitalisasi sektor pendidikan dan kesehatan.
  • Mengembangkan industri halal dan pariwisata berbasis budaya.

b. Reformasi Politik dan Etika Kepemimpinan

Perdamaian tidak cukup hanya dengan menghapus senjata, tetapi juga memerlukan etika dalam berpolitik:

  • Partai lokal harus dikritik dan dibenahi agar tidak menjadi kendaraan elit semata.
  • Kepemimpinan di Aceh harus visioner, tidak transaksional.
  • Kader muda perlu dilibatkan dalam perubahan, bukan sekadar menjadi pemilih.

c. Mendorong Rekonsiliasi dan Keadilan Transisi

Tidak ada damai yang benar-benar utuh tanpa keadilan:

  • Dukungan penuh terhadap Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh harus diberikan oleh pemerintah daerah.
  • Pengakuan terhadap korban, pelurusan sejarah, dan rehabilitasi psikologis sangat penting.
  • Pendidikan perdamaian harus masuk ke dalam kurikulum sekolah dan dayah.

d. Menjaga Kesadaran Kolektif tentang Makna Damai

Generasi muda Aceh hari ini tidak mengalami langsung konflik, namun mereka harus diberi pemahaman yang benar:

  • Bahwa konflik membawa penderitaan, bukan kejayaan.
  • Bahwa damai adalah hasil perjuangan kolektif yang mahal.
  • Bahwa sumpah untuk merdeka tidak seharusnya kembali digaungkan di tengah sistem yang telah memberi ruang demokratis untuk perubahan.

Penutup: Damai Harus Dirawat, Bukan Dirusak

Sumpah “Aceh Merdeka” oleh segelintir oknum bukan sekadar provokasi, melainkan cermin dari luka yang belum ditangani secara utuh. Tetapi jalan ke belakang bukanlah solusi. Justru dari sinilah kita semua harus belajar: damai adalah proses, bukan produk jadi.

Tugas generasi hari ini adalah memastikan bahwa damai tidak hanya menjadi monumen, tapi menjadi gerakan—gerakan untuk keadilan, ekonomi rakyat, rekonsiliasi, dan politik etis.

Mari kita jaga Aceh. Bukan dengan senjata, tapi dengan akal sehat dan nurani.


Penulis Azhari