Secerdas apa pun pikiranmu, sehebat apa pun logika yang kau banggakan, pada akhirnya hati tetap punya ruang yang tak bisa diperdebatkan. Pikiran bisa menuntunmu mencari jawaban, menyusun rencana, bahkan memenangkan perdebatan. Tetapi hati, dengan kejujurannya yang paling dalam, akan menuntunmu pada kenyataan yang kadang menyakitkan—bahkan pada kesedihan yang tak bisa dielakkan.
Kecerdasan sering mengajarkan kita cara keluar dari masalah, tetapi tidak selalu mengajarkan bagaimana menghadapi luka. Hati, sebaliknya, adalah ruang di mana manusia belajar menerima. Dan dari penerimaan itu, kesedihan hadir bukan untuk melemahkan, tetapi untuk mengingatkan bahwa kita hanyalah manusia.
Kesedihan adalah tanda bahwa hati masih hidup. Ia mengajarkan kita rendah hati di tengah kepintaran, mengajarkan kelembutan di balik ketegasan, dan mengingatkan bahwa sebesar apa pun logika, tetap ada ruang sunyi yang hanya bisa diisi dengan rasa, doa, dan kesabaran.
Maka jangan heran jika suatu hari, meski otakmu penuh kecerdasan, hatimu tetap menuntunmu pada kesedihan. Itu bukan kelemahan, melainkan pengingat: bahwa manusia tak pernah cukup hanya dengan kepintaran. Kita butuh hati yang tulus, jiwa yang lapang, dan iman yang menuntun agar kesedihan berubah menjadi kekuatan.