Oleh: Azhari
Cinta adalah bahasa yang tidak perlu diterjemahkan. Ia tidak butuh huruf, tidak butuh suara, namun bisa dirasakan dalam tatapan, perhatian, dan pengorbanan. Di dalam keluarga, cinta bukan hanya tentang kata “sayang”, tetapi tentang bagaimana seseorang memilih untuk tetap tinggal ketika badai datang, tetap tersenyum ketika beban terasa berat, dan tetap berdoa ketika jarak membentang.
Dalam kehidupan yang serba cepat hari ini, banyak orang berbicara tentang cinta dalam konteks pasangan atau asmara, tetapi jarang yang menyadari bahwa cinta paling tulus justru hidup dalam ruang keluarga. Cinta seorang ayah yang berangkat pagi dan pulang larut malam demi sesuap nasi. Cinta seorang ibu yang tetap tersenyum meski lelah mengurus rumah dan anak-anak. Cinta seorang anak yang diam-diam menabung agar bisa memberi hadiah kecil untuk orang tuanya. Semua itu adalah bentuk cinta sejati yang tak banyak kata, tapi dalam maknanya.
Keluarga adalah sekolah pertama tentang arti cinta. Di sanalah kita belajar bahwa cinta bukan hanya menerima, tetapi memberi. Bukan sekadar memiliki, tetapi memahami. Tidak selalu indah, namun selalu bermakna. Kadang cinta dalam keluarga diuji oleh miskomunikasi, perbedaan pendapat, atau kesalahpahaman kecil, tetapi justru di situlah nilai cinta diuji—mampukah kita tetap memeluk meski hati sempat terluka?
Cinta dalam keluarga juga bukan hanya hubungan darah, melainkan hubungan jiwa. Ada keluarga yang lahir dari ikatan resmi, tetapi hampa kasih. Namun ada pula keluarga yang terjalin dari kasih dan empati, meski tidak sedarah. Di sinilah cinta membuktikan bahwa ia lebih kuat dari sekadar nama di kartu keluarga—ia adalah energi yang menyatukan manusia dalam kehangatan.
Ketika dunia luar semakin keras, keluarga adalah tempat pulang paling lembut. Saat hidup dipenuhi ambisi dan kesibukan, keluarga mengingatkan bahwa bahagia tidak selalu soal harta, tapi tentang bersama. Duduk makan di meja yang sederhana bisa terasa lebih nikmat dibanding pesta mewah, jika di sana ada tawa dan doa.
Maka, arti cinta dalam keluarga bukan sekadar tentang siapa yang paling berkorban, melainkan siapa yang paling mampu memahami. Bukan siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling rela mengalah demi damai. Di dalam cinta keluarga yang sejati, tidak ada yang kalah—semuanya menang, karena mereka memilih untuk tetap bersama.
Dan pada akhirnya, ketika usia menua dan waktu perlahan memisahkan, yang tersisa bukanlah harta atau jabatan, melainkan kenangan cinta dalam keluarga: senyum ibu, nasihat ayah, pelukan anak, dan doa yang tidak pernah putus. Itulah harta paling berharga, yang tak bisa dibeli oleh dunia.
Karena cinta sejati tidak butuh alasan. Ia hanya butuh keikhlasan untuk tetap bertumbuh, bahkan dalam diam.
Dan di situlah keluarga menjadi tempat di mana cinta menemukan rumahnya yang paling indah. ❤️
P