Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Menanti Mimpi Partai Lokal Maju

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 23:47 WIB Last Updated 2025-10-18T16:47:24Z


Partai politik lokal lahir dari rahim sejarah dan perjuangan. Di Aceh, keberadaan partai lokal bukan sekadar simbol demokrasi pasca perdamaian, tetapi juga wujud nyata dari semangat otonomi dan aspirasi rakyat daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Namun dua dekade pasca-MoU Helsinki, mimpi agar partai lokal menjadi kekuatan politik yang maju dan berdaulat masih terasa jauh dari kenyataan.

Sebagian partai lokal memang telah berpartisipasi dalam pesta demokrasi, duduk di parlemen, dan ikut menentukan arah kebijakan daerah. Namun, di balik itu tersimpan pertanyaan yang menggugah nurani: apakah partai lokal benar-benar telah menjadi instrumen perjuangan rakyat, atau sekadar kendaraan politik segelintir elit yang haus kekuasaan?

Cita-Cita yang Mulia, Tapi Jalan yang Terjal

Ketika partai lokal pertama kali diizinkan berdiri di Aceh, harapan rakyat begitu besar. Ia diimpikan sebagai wadah perjuangan identitas, keadilan, dan pembangunan yang berpihak pada masyarakat. Namun dalam perjalanan, idealisme itu sering kali tergerus oleh kepentingan pribadi dan politik praktis.

Partai lokal terjebak dalam konflik internal, perebutan posisi, dan pragmatisme elektoral. Alih-alih memperjuangkan rakyat, banyak yang justru sibuk mengamankan “jatah kursi” dan “jatah proyek”. Akibatnya, partai lokal kehilangan roh perjuangan, kehilangan kepercayaan publik, bahkan kehilangan arah.

Di sisi lain, rakyat Aceh masih menunggu bukti bahwa partai lokal mampu menjadi alternatif yang lebih baik dari partai nasional. Bahwa partai lokal tidak hanya bicara tentang Aceh, tapi juga bekerja untuk Aceh.

Kemandirian Politik yang Belum Tumbuh

Kemajuan partai politik lokal tidak bisa hanya diukur dari jumlah kursi di DPR Aceh atau DPRK. Lebih dari itu, kemajuannya harus dilihat dari sejauh mana mereka mampu membangun kesadaran politik rakyat. Sayangnya, di titik ini partai lokal masih lemah.

Sebagian besar partai lokal belum memiliki pendidikan politik yang kuat untuk kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk menjelang pemilu daripada bekerja di antara dua pemilu. Padahal, kekuatan politik sejati dibangun dari kesadaran, bukan sekadar suara.

Kemandirian finansial juga menjadi masalah besar. Banyak partai lokal bergantung pada sumbangan personal dari tokoh tertentu. Akibatnya, partai menjadi alat kepentingan individu, bukan milik bersama. Di sinilah letak tantangan besar: bagaimana membangun partai lokal yang mandiri, profesional, dan berorientasi pada pelayanan publik, bukan kekuasaan.

Mimpi yang Belum Selesai

Mimpi partai lokal maju bukan sekadar mimpi politik, tetapi juga mimpi kebudayaan. Ia berkaitan dengan martabat, jati diri, dan masa depan Aceh. Partai lokal seharusnya menjadi wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai keacehan dalam konteks modern: keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, ekonomi rakyat, dan pendidikan yang bermartabat.

Namun tanpa pembenahan internal, mimpi itu akan tetap menjadi mimpi. Dibutuhkan regenerasi kepemimpinan, penguatan ideologi, serta keberanian untuk berbenah. Partai lokal harus berani keluar dari bayang-bayang konflik lama dan membangun wajah baru politik Aceh yang lebih visioner, inklusif, dan produktif.

Politik Lokal, Harapan Global

Aceh memiliki potensi besar untuk tampil di panggung nasional dan internasional melalui kekuatan politik lokalnya. Tapi itu hanya mungkin jika partai lokal bersatu, tidak saling menjatuhkan, dan mampu melahirkan pemimpin yang berkarakter, berilmu, dan berakhlak.

Partai lokal yang maju bukan berarti anti terhadap partai nasional, tetapi mampu berdiri sejajar dengan gagasan dan program yang berkualitas. Mereka harus mampu membawa Aceh bukan hanya maju di tingkat daerah, tetapi juga berkontribusi dalam percaturan politik bangsa.

Dari Mimpi ke Gerakan Nyata

Mimpi partai lokal maju tidak boleh berhenti di retorika. Ia harus menjadi gerakan nyata—gerakan politik rakyat yang lahir dari kesadaran, bukan dari uang. Dari kejujuran, bukan tipu daya. Dari cinta terhadap daerah, bukan ambisi pribadi.

Karena partai lokal yang sejati bukanlah yang paling besar, tetapi yang paling dekat dengan hati rakyat.
Dan selama masih ada rakyat Aceh yang bermimpi tentang keadilan, kesejahteraan, dan kemandirian—maka mimpi itu belum mati. Ia hanya menunggu generasi baru yang berani mewujudkannya.