Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Damai Tidak Cukup: Saatnya Bangkit

Senin, 06 Oktober 2025 | 00:43 WIB Last Updated 2025-10-05T17:43:40Z



Aceh Maju dan Bangkit: Refleksi Dua Dekade Perdamaian Menuju Masa Depan Gemilang

Dua puluh tahun telah berlalu sejak dentuman senjata di Tanah Rencong itu terdiam. Dua dekade sudah Aceh menapaki jalan damai, menutup lembaran kelam konflik panjang yang menorehkan luka di dada sejarah bangsa. Namun di balik senyum dan pembangunan yang mulai tumbuh, masih tersisa pertanyaan mendasar: sudahkah Aceh benar-benar bangkit? Sudahkah damai itu menjadi energi yang menggerakkan kebangkitan, bukan sekadar kesepakatan politik yang membisu dalam kertas MoU Helsinki?

Damai bukan sekadar tidak ada perang. Damai adalah tentang kesadaran, tentang kerja keras membangun keadilan, tentang keberanian menatap masa depan tanpa meninggalkan masa lalu. Dan kini, di tahun ke-20 perdamaian Aceh, kita dihadapkan pada tugas besar — bukan lagi mempertahankan damai dari senjata, tetapi mempertahankan semangat dari kelalaian dan lupa.


I. Luka yang Menjadi Titik Balik

Tak ada bangsa besar yang lahir tanpa luka. Aceh telah melalui masa panjang penderitaan. Konflik selama hampir tiga dekade bukan hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga menghancurkan rasa saling percaya antara rakyat dan negara. Anak-anak tumbuh tanpa ayah, ibu-ibu kehilangan suami, dan desa-desa hancur menjadi puing. Namun dari reruntuhan itulah, tekad untuk hidup damai lahir.

Perjanjian damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi babak baru yang menandai kebangkitan Aceh. Dunia menyaksikan bagaimana dua pihak yang dulu saling menodong senjata kini saling menandatangani perdamaian. Namun perdamaian itu bukan akhir perjuangan; ia justru awal perjalanan baru — perjalanan menuju kemajuan, keadilan, dan kemandirian Aceh sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Anak-anak yang lahir pascakonflik kini sudah tumbuh menjadi generasi muda. Mereka tidak merasakan perang, tapi mereka mewarisi tanggung jawab moral untuk menjaga hasil damai. Dan di tangan merekalah masa depan Aceh akan ditentukan: apakah damai akan tumbuh menjadi kemakmuran, atau perlahan layu menjadi sekadar nostalgia?


II. Damai Tidak Cukup: Saatnya Bangkit

Sering kali kita berpuas diri hanya karena senjata telah diam. Padahal, perdamaian sejati bukan tentang diamnya senjata, melainkan hidupnya harapan. Aceh telah mendapatkan kedamaian, namun belum seluruhnya mencapai kesejahteraan. Banyak daerah yang masih terjebak dalam kemiskinan struktural, pendidikan yang tertinggal, dan lapangan kerja yang terbatas.

Apakah ini berarti perdamaian gagal? Tidak. Ini berarti tugas kita belum selesai. Damai hanyalah fondasi; pembangunan adalah bangunannya. Kita telah membangun jalan, gedung, dan pelabuhan, tetapi yang paling penting adalah membangun manusia — membangun karakter, etos kerja, dan kesadaran kolektif bahwa masa depan tidak akan berubah bila mentalitas lama masih dibiarkan hidup.

Bangsa Aceh pernah menjadi mercusuar peradaban di Asia Tenggara. Dari pelabuhan Aceh-lah Islam menyebar ke Nusantara. Dari masjid-masjid dan dayah-dayah di tanah ini, lahir ulama besar dan pemimpin tangguh. Maka ketika kita bicara tentang “Aceh bangkit”, sesungguhnya kita sedang memanggil kembali jiwa sejarah itu — jiwa yang pernah menggetarkan dunia, bukan hanya karena keberanian berperang, tapi karena keunggulan ilmu, budaya, dan akhlak.


III. Generasi Damai, Generasi Penentu

Generasi muda Aceh hari ini adalah generasi yang lahir di bawah langit damai. Mereka tidak mendengar suara tembakan, tidak melihat darah di jalan, dan tidak merasakan malam yang dihantui ketakutan. Namun mereka menghadapi musuh baru yang tak kalah berbahaya: kemalasan, apatisme, dan kehilangan arah.

Kita sering berkata bahwa generasi muda adalah harapan bangsa. Namun harapan itu hanya bermakna jika diiringi dengan kerja nyata. Pemuda Aceh harus bangkit dari zona nyaman, berhenti menunggu bantuan, dan mulai menciptakan perubahan. Dunia digital, ekonomi kreatif, dan inovasi teknologi memberi peluang besar bagi siapa pun yang mau bergerak.

Kini bukan zamannya lagi pemuda berdiri di pinggir menonton politik kotor, bukan zamannya lagi menunggu bantuan pemerintah. Zaman ini adalah milik mereka yang mau bekerja, belajar, dan membangun. Bila generasi damai tidak berbuat, maka damai akan kehilangan maknanya. Sebab perdamaian tanpa karya hanyalah kesunyian yang panjang.

Membangun Aceh hari ini berarti membangun kesadaran bahwa kita semua pemilik masa depan. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, ulama tidak bisa berdakwah sendiri, dan rakyat tidak bisa berharap tanpa usaha. Setiap kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hasil perjuangan generasi terdahulu.


IV. Nilai Lokal, Arah Global

Kebangkitan Aceh tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu, tetapi juga tidak boleh tercerabut dari akar budayanya. Kekuatan Aceh terletak pada nilai-nilai Islam, adat, dan solidaritas sosial. Dalam tradisi Aceh, meusyawarah, gotong royong, dan keuhateuh nyan agam (menjaga kehormatan agama) adalah fondasi moral yang membentuk peradaban.

Namun, di tengah globalisasi yang cepat, nilai-nilai itu mulai terkikis. Anak muda lebih hafal tokoh luar negeri daripada ulama atau pahlawan Aceh sendiri. Banyak yang merasa rendah diri menjadi orang Aceh, padahal sejarah dunia mencatat Aceh sebagai bangsa yang kuat, terdidik, dan beradab.

Maka, kebangkitan Aceh harus dimulai dari kesadaran budaya: mencintai diri sendiri tanpa menolak kemajuan dunia. Aceh harus menjadi contoh bagaimana nilai Islam bisa berjalan seiring dengan modernitas. Kita bisa maju tanpa kehilangan identitas, kita bisa modern tanpa harus melupakan adab.

Bangkitnya Aceh bukan sekadar soal infrastruktur, tapi juga pembangunan jiwa. Kita butuh generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga tangguh secara moral. Generasi yang tidak tergoda korupsi, tidak malu menjadi orang Aceh, dan berani membawa identitasnya ke kancah nasional dan internasional.


V. Pemerintah dan Rakyat: Satu Niat, Satu Langkah

Dua puluh tahun damai adalah waktu yang cukup untuk menilai perjalanan pembangunan. Banyak capaian telah diraih: otonomi khusus, Qanun syariat, perbaikan jalan, pembangunan bandara, dan program pendidikan. Namun, semua itu belum cukup jika rakyat masih merasakan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Pemerintah Aceh hari ini perlu membangun paradigma baru: dari politik kekuasaan menuju politik pelayanan. Damai tidak akan berarti jika kekuasaan hanya menjadi alat memperkaya diri. Pemimpin Aceh harus kembali kepada nilai ameuh bangun gampông, ameuh peugah rakyat — pemimpin yang hidup untuk rakyat, bukan sebaliknya.

Pemerintahan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan adalah kunci kebangkitan Aceh. Dana otsus yang mengalir setiap tahun seharusnya menjadi berkah, bukan kutukan. Sayangnya, sebagian besar potensi itu belum dikelola dengan visi jangka panjang. Maka kini saatnya pemerintah berani menata ulang arah pembangunan Aceh: berfokus pada pendidikan, ekonomi rakyat, dan penguatan daya saing generasi muda.

Bangkitnya Aceh juga harus disertai dengan solidaritas rakyat. Jangan biarkan perbedaan politik dan kelompok memecah kita kembali. Damai hanya bisa tumbuh dalam kebersamaan, dan kebersamaan hanya bisa hidup bila keadilan ditegakkan. Pemerintah harus hadir sebagai pengayom, bukan penguasa.


VI. Pendidikan dan Ekonomi sebagai Pilar Kebangkitan

Tidak ada kebangkitan tanpa pendidikan. Dayah, madrasah, dan universitas harus menjadi pusat transformasi peradaban baru Aceh. Sistem pendidikan harus menggabungkan nilai keislaman dengan ilmu pengetahuan modern. Generasi Aceh harus dibekali kemampuan berpikir kritis, berakhlak, dan berdaya saing global.

Kita tidak boleh puas dengan gelar, tetapi harus mengejar kualitas. Guru dan dosen harus diberi dukungan moral dan material untuk menjadi teladan. Pemerintah harus berani berinvestasi besar dalam pendidikan, sebab di sanalah letak masa depan Aceh sebenarnya.

Selain pendidikan, ekonomi rakyat harus menjadi prioritas. Pertanian, perikanan, industri halal, dan pariwisata Islami bisa menjadi motor pertumbuhan baru Aceh. Namun itu hanya mungkin bila pemerintah memfasilitasi akses modal, pelatihan, dan pasar bagi UMKM dan petani.

Kita memiliki sumber daya alam melimpah — dari laut hingga gunung — tetapi yang lebih penting adalah sumber daya manusia. Tanpa manusia yang berilmu dan jujur, kekayaan alam hanya akan menjadi kutukan baru yang memperpanjang penderitaan rakyat.


VII. Peran Ulama dan Pemuda: Dua Sayap Bangkitnya Aceh

Ulama dan pemuda adalah dua sayap bagi kebangkitan Aceh. Ulama adalah penuntun moral, sedangkan pemuda adalah pelaku perubahan. Bila dua kekuatan ini bersatu, maka tidak ada yang mustahil bagi Aceh.

Ulama harus hadir di tengah masyarakat bukan hanya di mimbar, tetapi juga dalam kebijakan publik. Dakwah harus mendorong produktivitas, bukan hanya seruan ritual. Sementara itu, pemuda harus menghormati ulama sebagai sumber nilai dan kebijaksanaan.

Generasi muda Aceh harus berani berinovasi. Mereka harus menjadi wirausahawan, peneliti, dan pemimpin yang berkarakter. Tidak cukup menjadi penonton sejarah — mereka harus menulis bab baru sejarah itu. Bila masa lalu penuh darah, biarlah masa depan diwarnai dengan karya dan cinta.


VIII. Membangun Citra Aceh di Mata Dunia

Selama konflik, dunia mengenal Aceh sebagai wilayah perang dan bencana. Kini, dua puluh tahun kemudian, saatnya dunia mengenal Aceh sebagai simbol perdamaian dan kemajuan. Potensi wisata halal, budaya Islam, dan sejarah peradaban harus dijadikan kekuatan diplomasi baru.

Kita harus berani menampilkan wajah Aceh yang modern namun berakar pada nilai Islam. Dunia menunggu contoh bahwa perdamaian bisa melahirkan kemajuan. Aceh harus menjadi laboratorium perdamaian — tempat orang belajar bahwa Islam, adat, dan pembangunan bisa berjalan beriringan.


IX. Doa, Harapan, dan Tanggung Jawab

Bangkitnya Aceh tidak hanya tugas pemerintah atau elit, tetapi tanggung jawab semua. Rakyat harus sadar bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri. Jangan menunggu keajaiban; jadilah keajaiban itu.

Setiap anak muda yang belajar sungguh-sungguh, setiap petani yang bekerja jujur, setiap guru yang mengajar dengan hati — semuanya bagian dari kebangkitan Aceh. Jangan biarkan perdamaian yang dibayar dengan darah itu hilang karena kemalasan dan keegoisan kita.

Mari jadikan doa bukan hanya ucapan, tapi kekuatan untuk bergerak. Mari jadikan harapan bukan hanya mimpi, tapi rencana yang diwujudkan dengan kerja keras. Karena Aceh tidak akan maju dengan kata-kata indah, tetapi dengan tindakan nyata.


X. Penutup: Dari Luka Menuju Cahaya

Dua puluh tahun lalu, Aceh berdarah. Hari ini, Aceh damai. Dua puluh tahun lalu, rakyat menangis. Hari ini, rakyat tersenyum. Tetapi tugas belum selesai. Damai harus terus dijaga, nilai harus terus ditanam, dan pembangunan harus terus diperjuangkan.

Aceh pernah menjadi pelita bagi dunia Islam di Nusantara, dan tidak ada alasan mengapa pelita itu tidak bisa menyala kembali. Generasi muda adalah minyaknya, pendidikan adalah sumbunya, dan iman adalah nyalanya.

Mari bangkit bersama. Jangan biarkan sejarah hanya menjadi cerita, jadikan ia kompas menuju masa depan. Dua puluh tahun perdamaian adalah momentum emas untuk meneguhkan langkah. Aceh bukan daerah pinggiran; Aceh adalah pintu peradaban bangsa.

“Damai bukan akhir dari perjuangan, tetapi awal dari tanggung jawab baru.”

Kini saatnya Aceh berdiri tegak, menatap dunia dengan senyum dan keyakinan. Bahwa dari tanah yang dulu dilanda perang, akan tumbuh peradaban yang membawa cahaya bagi Indonesia dan dunia.

Aceh bangkit, Aceh maju, dan Aceh akan terus menjadi kebanggaan bangsa.


Penulis Azhari