Dalam perjalanan hidup, tidak semua langkah kita akan disambut dengan tepuk tangan. Ada kalanya, justru celaan yang lebih dulu datang sebelum penghargaan. Kata-kata ejek, sindiran, bahkan penghinaan seringkali hadir sebagai ujian keikhlasan dan keteguhan hati. Namun sesungguhnya, dalam setiap celaan tersembunyi peluang untuk bangkit, untuk membuktikan diri, dan untuk menemukan arah yang lebih bermakna bagi masa depan.
Manusia yang berharga bukanlah yang tak pernah dicela, tetapi yang tetap melangkah meski dicela. Mereka yang kuat bukan karena tidak punya luka, melainkan karena mampu menjadikan luka itu sebagai cambuk perubahan. Celaan bisa mematikan semangat bagi yang lemah, tapi menjadi bahan bakar bagi yang berjiwa besar. Karena di balik setiap kata ejek, tersimpan kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bukan seperti yang mereka tuduhkan.
Kita hidup di zaman di mana penghinaan mudah tersebar. Media sosial menjadikan lidah-lidah tajam berubah menjadi jari-jari yang melukai. Banyak yang jatuh bukan karena kesalahan besar, tetapi karena tidak tahan menghadapi ejekan kecil. Namun, sejarah selalu berpihak pada mereka yang tidak menyerah. Orang-orang besar pernah dicaci, para nabi pun pernah dihina, tetapi mereka tetap berjalan dengan doa, bukan dendam. Mereka tahu bahwa yang dinilai bukan kata manusia, melainkan pandangan Tuhan.
Bangkit dari celaan bukan berarti membalas, tetapi mengubah arah luka menjadi kekuatan. Setiap hinaan dapat menjadi pembelajaran; setiap ejekan bisa menjadi alasan untuk memperbaiki diri. Ketika dunia berkata “kamu tak bisa”, jadikan itu doa agar Allah menuntun jalan menuju “bisa”. Ketika manusia menutup pintu karena kita dianggap rendah, biarlah kita mengetuk pintu langit, sebab di sana tidak ada ejekan, hanya penerimaan.
Menjadi berguna bagi bangsa dan agama bukanlah perjalanan yang mudah. Banyak yang akan mencibir langkah kita, menertawakan mimpi kita, bahkan menuduh niat kita. Tapi bukankah semua perjuangan memang menuntut kesabaran? Rasulullah ﷺ pun menghadapi ejekan kaum Quraisy, difitnah sebagai penyihir, pemecah belah, bahkan dianggap gila. Namun dengan kesabaran dan doa, beliau membuktikan bahwa kebenaran tidak akan kalah oleh celaan. Begitu pula dengan kita — selagi tujuan kita baik, teruslah berjalan walau jalan itu sunyi dan penuh luka.
Mungkin hari ini kita dicela karena miskin, karena gagal, atau karena berbeda. Tapi jika kita menjadikan celaan itu bahan refleksi dan perbaikan diri, suatu hari nanti orang yang mencela akan terdiam oleh hasil kerja dan ketulusan kita. Jangan takut pada ejekan manusia, takutlah bila hidup kita tak berguna bagi orang lain. Karena yang sejati bukanlah kehormatan di mata manusia, tetapi keberkahan di sisi Allah.
Dalam setiap langkah menuju kebaikan, biarlah doa menjadi perisai, dan harapan menjadi pelita. Jangan biarkan celaan menghentikan langkah, karena masa depan tidak dibangun oleh mereka yang pandai mencela, tetapi oleh mereka yang mau bekerja. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mendengar kata ejek — lebih baik kita isi dengan amal, doa, dan usaha.
Karena celaanlah, kita belajar untuk kuat. Karena ejekanlah, kita belajar untuk rendah hati. Dan karena doa, kita belajar bahwa setiap luka adalah jalan menuju keberkahan.
Maka teruslah melangkah, meski dicela, asal langkahmu menuju kebaikan. Sebab nilai hidup bukan pada siapa yang memuji, tapi pada seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan bagi bangsa dan agama.