Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Bangsa Pelupa atas Derita dan Kekejaman Konflik Aceh

Senin, 06 Oktober 2025 | 00:37 WIB Last Updated 2025-10-05T17:38:07Z

 

Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang berdaulat atas tanahnya, tetapi juga bangsa yang memiliki ingatan yang jernih terhadap sejarah penderitaannya. Namun, Indonesia kerap menunjukkan gejala sebagai bangsa pelupa — terutama terhadap luka-luka yang pernah mengoyak bagian tubuhnya sendiri. Salah satu luka terdalam itu adalah konflik Aceh, babak kelam yang menelan ribuan nyawa, menghancurkan keluarga, dan meninggalkan trauma yang belum sepenuhnya sembuh hingga hari ini.

Konflik Aceh bukan sekadar peristiwa politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat. Ia adalah kisah tentang manusia — tentang air mata ibu yang kehilangan anak, tentang desa-desa yang terbakar, dan tentang generasi yang tumbuh dalam ketakutan. Namun sayangnya, dalam narasi kebangsaan hari ini, luka itu kian terlupakan. Aceh seperti lembaran sejarah yang disimpan di rak belakang, dibuka hanya ketika peringatan MoU Helsinki datang, lalu kembali dilupakan setelahnya.

Padahal, di balik perdamaian yang hari ini dinikmati, tersimpan harga mahal yang dibayar dengan darah dan kehilangan. Banyak korban konflik yang belum mendapat keadilan. Banyak anak yatim yang tumbuh tanpa bimbingan, banyak perempuan yang menjadi janda tanpa perlindungan sosial yang memadai. Mereka bukan angka dalam statistik, tetapi manusia yang pernah menjadi bagian dari perjuangan panjang menuju perdamaian.

Lupa terhadap derita Aceh berarti lupa terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam setiap bangsa yang beradab, penderitaan masa lalu dijadikan bahan refleksi agar tidak terulang kembali. Namun di Indonesia, ingatan kolektif sering kali hanya mengingat kemenangan, bukan penderitaan. Kita begitu cepat merayakan perdamaian, tetapi begitu lambat mengakui luka. Kita begitu bangga dengan kesatuan bangsa, tapi enggan menyentuh sisi gelap yang menyertainya.

Konflik Aceh mengajarkan bahwa kekerasan negara atas rakyatnya tidak pernah melahirkan stabilitas sejati. Ia hanya menanam benih dendam yang bisa tumbuh kapan saja bila keadilan tidak ditegakkan. Maka tugas generasi kini bukan hanya menjaga perdamaian secara simbolik, tetapi memastikan bahwa sejarah kelam itu menjadi bahan pembelajaran moral dan politik. Bahwa perdamaian bukan hasil kebetulan, melainkan buah dari pengakuan terhadap kesalahan masa lalu.

Sayangnya, narasi nasional seringkali menempatkan Aceh sekadar sebagai wilayah yang “pernah bermasalah”, bukan bagian dari jiwa bangsa yang terluka. Padahal, Aceh adalah pintu masuk Islam ke Nusantara, pusat peradaban maritim, dan salah satu daerah yang paling berkorban dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah semuanya reda, Aceh seolah hanya diingat ketika bicara tentang syariat atau bencana. Jarang sekali Aceh dikenang sebagai simbol keteguhan, kesetiaan, dan perjuangan moral terhadap ketidakadilan pusat.

Refleksi ini seharusnya menggugah nurani para pemimpin bangsa. Jangan biarkan perdamaian hanya menjadi dokumen politik tanpa jiwa. Jangan biarkan generasi muda Aceh tumbuh dalam ketidaktahuan tentang masa lalu mereka. Pendidikan sejarah harus berani menampilkan sisi manusia dari konflik — bukan sekadar versi resmi negara, tetapi juga suara korban, suara rakyat kecil, dan suara perempuan yang menanggung beban paling berat.

Kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang utuh tanpa keberanian untuk mengingat luka. Ingatan bukan untuk membuka kembali luka lama, tetapi untuk mencegah tangan yang sama mengulang kekerasan yang sama. Bila bangsa ini terus melupakan Aceh, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan luka bangsa sendiri mengering di permukaan namun bernanah di dalam.

Kini, dua dekade lebih pasca-MoU Helsinki, Aceh masih berjuang menata dirinya. Perdamaian memang ada, tetapi keadilan belum sepenuhnya hadir. Banyak eks-kombatan masih berjuang hidup tanpa kepastian ekonomi. Banyak korban sipil masih menunggu pengakuan. Dan di tengah itu semua, sebagian elit justru sibuk memperkaya diri di atas nama perdamaian.

Maka, mari kita bertanya dalam hati: apakah bangsa ini benar-benar sudah belajar dari konflik Aceh? Atau kita hanya pandai mengucap “perdamaian” tanpa memahami penderitaan yang melahirkannya?

Bangsa yang melupakan deritanya, sedang menyiapkan penderitaan baru.
Aceh telah membayar mahal untuk mengajarkan makna keadilan, persatuan, dan harga sebuah kemanusiaan. Kini tinggal tugas kita — generasi dan pemimpin bangsa — untuk menjaga agar nilai itu tidak terkubur oleh lupa. Karena tanpa ingatan, bangsa hanyalah tubuh tanpa jiwa; dan tanpa refleksi, perdamaian hanyalah kesepian yang dipoles kata-kata.