Foto copas
Ketika musim politik tiba, suara nelayan kembali menjadi incaran. Di sepanjang garis pantai, dari timur hingga barat Aceh, para calon pemimpin datang dengan janji—janji yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya: subsidi kapal, perbaikan dermaga, bantuan alat tangkap, dan peningkatan ekonomi pesisir. Namun, setelah suara terkumpul dan kekuasaan berpindah tangan, kehidupan nelayan sering kembali pada nasib semula: melaut dengan perahu tua, menantang ombak besar, dan berharap cuaca bersahabat agar dapur tetap mengepul.
Pilkada sering kali menjadi panggung sementara bagi para politisi untuk menampilkan kepedulian semu terhadap masyarakat pesisir. Nelayan dijadikan simbol keaslian rakyat kecil, tetapi setelah pesta demokrasi usai, mereka kembali dilupakan di sudut pantai, hidup dengan penghasilan tak menentu. Padahal, laut bukan hanya sumber rezeki, tetapi juga simbol kehidupan dan kebanggaan bagi masyarakat Aceh yang sejak dahulu dikenal sebagai bangsa pelaut tangguh.
Di sinilah letak pentingnya membangun kepedulian yang berkelanjutan, bukan kepedulian musiman. Pemerintah daerah harus mampu mengubah pola pikir bahwa bantuan bukan sekadar hadiah politik, melainkan investasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Nelayan tidak membutuhkan janji, mereka butuh sistem yang melindungi dan memberdayakan.
Laut Sebagai Nafas Kehidupan
Nelayan hidup dalam ruang yang keras. Mereka bekerja tanpa jaminan, sering kali bergantung pada alam, dan minim perlindungan sosial. Ironisnya, laut yang mereka jaga dan rawat justru menjadi ladang eksploitasi bagi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi lebih besar. Ikan berkurang, bahan bakar naik, dan alat tangkap modern milik korporasi besar merambah wilayah tangkapan nelayan kecil.
Ketimpangan inilah yang harus diatasi oleh pemerintah, terutama oleh pemimpin yang berkomitmen pada keadilan sosial. Pemimpin daerah, terutama bupati atau wali kota, seharusnya menjadikan nelayan sebagai prioritas pembangunan ekonomi lokal. Bukan hanya dengan memberikan bantuan perahu atau jaring, tetapi dengan membangun ekosistem ekonomi pesisir yang kuat—melalui koperasi nelayan, tempat pelelangan ikan modern, pelatihan teknologi tangkap, hingga fasilitas pengolahan hasil laut.
Jika laut adalah kehidupan, maka memperjuangkan kesejahteraan nelayan berarti memperjuangkan napas rakyat sendiri. Kepedulian terhadap nelayan adalah bentuk cinta kepada bumi dan bangsa, karena laut yang makmur akan melahirkan masyarakat yang kuat dan berdaulat.
Politik dan Kepentingan Pesisir
Menjelang Pilkada, sering kita saksikan politisi yang menebar simpati di pesisir—membagikan sembako, ikut naik perahu, atau berbicara tentang pentingnya ekonomi maritim. Namun, kepedulian seperti itu sering berhenti pada simbol. Begitu kursi kekuasaan digenggam, program kelautan tidak lagi menjadi prioritas utama.
Sudah saatnya kita menagih janji politik yang realistis dan terukur. Setiap calon kepala daerah harus berani memaparkan rencana konkret untuk sektor perikanan dan kelautan. Misalnya, bagaimana memperbaiki infrastruktur pelabuhan nelayan, bagaimana menstabilkan harga ikan di pasar lokal, bagaimana melindungi nelayan dari praktik tengkulak, dan bagaimana memberi akses permodalan tanpa bunga yang menjerat.
Kepedulian tidak cukup diwujudkan dalam kata, tetapi dalam tindakan nyata dan kebijakan yang menyentuh kehidupan pesisir. Pemimpin sejati bukan yang datang hanya untuk difoto di tepi pantai, tetapi yang mau duduk bersama nelayan, mendengar keluhan mereka, dan mencari solusi bersama.
Harapan dari Pesisir Laut
Harapan nelayan sederhana: hidup layak, laut bersih, dan hasil tangkapan cukup untuk keluarga. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya keadilan dan perhatian. Karena itu, pemerintah harus memandang sektor pesisir bukan sebagai beban, melainkan potensi besar untuk kemajuan daerah. Laut adalah sumber pangan, pariwisata, dan energi yang jika dikelola dengan baik, mampu menggerakkan ekonomi daerah secara berkelanjutan.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat pesisir. Pendidikan maritim, pelatihan keterampilan, serta penguatan nilai-nilai gotong royong di kalangan nelayan harus menjadi prioritas. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri menghadapi gelombang ekonomi global yang kian tak pasti.
Kita perlu pemimpin yang mampu melihat lebih jauh dari sekadar masa kampanye—pemimpin yang menanam, bukan hanya memanen. Pemimpin yang memahami bahwa laut bukan panggung pencitraan, melainkan amanah Tuhan untuk dijaga dan dimakmurkan bersama.
Kepedulian yang Menyelamatkan
Kepedulian sejati lahir dari hati yang peka terhadap penderitaan rakyat. Pemimpin yang benar-benar peduli tidak menunggu waktu pemilu untuk hadir, tetapi datang setiap kali rakyatnya butuh. Nelayan yang kehilangan perahu karena badai, keluarga yang kehilangan mata pencaharian karena cuaca ekstrem—mereka butuh uluran tangan pemerintah, bukan janji kosong.
Kepedulian terhadap pesisir adalah cermin dari moral bangsa. Semakin kuat perhatian negara kepada masyarakat laut, semakin besar pula peluang kita untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat atas sumber dayanya sendiri.
Maka Ketika Pilkada datang, nelayan tidak butuh politisi yang berjanji di atas ombak, tetapi pemimpin yang berjalan di tepi pantai bersama mereka. Jangan jadikan laut sebagai panggung politik, jadikan ia sebagai ruang kehidupan yang menumbuhkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Pesisir Aceh dan seluruh Indonesia menunggu bukti, bukan janji. Sebab laut telah memberi segalanya: ikan, kehidupan, dan kebanggaan. Kini giliran pemerintah dan pemimpin daerah untuk membalasnya dengan kepedulian nyata, agar nelayan tidak lagi sekadar simbol rakyat kecil dalam baliho politik, melainkan menjadi bagian dari bangsa yang berdiri tegak di atas keadilan dan kemakmuran.
Penulis Azhari