Perlindungan Hutan Adat dan Masyarakat: Antara Hak, Amanah, dan Masa Depan
(Opini Lingkungan dan Sosial Politik)
1. Hutan Adat: Nafas yang Menjadi Identitas
Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan ambisi ekonomi, hutan adat sering kali menjadi korban diam. Ia ditebang, dijual, atau diubah menjadi lahan industri tanpa mendengar suara masyarakat yang telah berabad-abad hidup bersamanya.
Padahal, bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar pepohonan — ia adalah jiwa, sejarah, dan identitas.
Dalam pandangan adat, hutan adalah ruang sakral yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Di sanalah sumber kehidupan mengalir: air, pangan, obat-obatan, dan udara bersih. Hutan adat bukan milik individu, tetapi warisan leluhur yang harus dijaga untuk anak cucu.
Namun kini, warisan itu menghadapi ancaman dari sistem ekonomi modern yang sering kali menilai hutan hanya dari sisi keuntungan, bukan keberlanjutan.
2. Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Kapitalisme
Banyak konflik sosial dan lingkungan berawal dari satu persoalan: perebutan ruang hidup. Ketika hutan adat diserobot oleh korporasi atau proyek industri tanpa partisipasi masyarakat adat, maka yang rusak bukan hanya alam, tetapi juga tatanan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat adat yang dulu hidup selaras dengan alam kini terpinggirkan. Mereka kehilangan sumber penghidupan, kehilangan tanah, bahkan kehilangan hak untuk menentukan masa depan sendiri.
Inilah bentuk ketidakadilan ekologis — ketika yang menjaga alam justru menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak.
Hukum sering kali hadir terlambat, atau bahkan berpihak kepada yang kuat. Banyak masyarakat adat yang tak memiliki kekuatan hukum formal untuk membela hutan mereka, karena belum adanya pengakuan administratif yang jelas.
Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Itu berarti, negara wajib menghormati, melindungi, dan memulihkan hak masyarakat adat atas hutan mereka.
3. Antara Kepentingan Ekonomi dan Amanah Lingkungan
Pemerintah kerap beralasan bahwa pembukaan hutan diperlukan untuk pembangunan ekonomi, investasi, dan lapangan kerja. Namun, pembangunan yang menafikan hak masyarakat adat sama saja dengan membangun peradaban di atas penderitaan.
Pembangunan sejati bukan hanya soal gedung tinggi dan pabrik besar, tetapi juga tentang keharmonisan antara manusia dan alam.
Jika hutan rusak, banjir datang, tanah longsor, udara tercemar — maka hasil ekonomi pun akan sirna dalam waktu singkat.
Masyarakat adat sebenarnya bukan anti-pembangunan; mereka hanya menuntut agar pembangunan berjalan adil dan beretika, dengan menghormati sistem adat dan pengetahuan lokal yang telah lama menjaga keseimbangan ekosistem.
4. Peran Negara: Dari Penjaga Hukum ke Penjaga Amanah
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat di dalamnya. Namun dalam praktiknya, perlindungan ini sering kali hanya berhenti di atas kertas.
Padahal, negara memiliki tiga kewajiban pokok terhadap masyarakat adat dan hutan mereka:
- Mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat atas wilayahnya.
- Melindungi hak tersebut dari intervensi pihak luar.
- Memfasilitasi pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal dan keberlanjutan.
Bila negara gagal menjalankan ketiga hal ini, maka keadilan ekologis dan sosial akan runtuh.
Hukum adat tidak boleh dianggap kuno, karena di dalamnya tersimpan prinsip living law — hukum yang hidup dan mengatur harmoni antara manusia dan alam.
5. Hutan sebagai Benteng Moral Bangsa
Hutan adat bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga moral bangsa.
Jika hutan dijaga, maka kita masih punya harapan akan masa depan yang bersih dan berkeadilan.
Namun bila hutan terus ditebang demi kepentingan sesaat, itu tanda bahwa bangsa ini telah kehilangan akal budi dalam memaknai amanah Tuhan.
Agama pun menegaskan bahwa bumi ini bukan milik kita, melainkan titipan untuk dijaga.
Ketika manusia merusak bumi, berarti ia telah mengkhianati amanah penciptaan.
Firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 56 menegaskan:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Artinya, melindungi hutan adat bukan sekadar tanggung jawab hukum atau sosial, tapi juga tanggung jawab spiritual.
6. Jalan Keluar: Sinergi, Pengakuan, dan Kesadaran
Perlindungan hutan adat membutuhkan sinergi antara masyarakat, pemerintah, akademisi, dan organisasi sipil.
Langkah-langkah nyata yang perlu didorong antara lain:
- Penguatan hukum adat melalui peraturan daerah yang mengakui wilayah dan lembaga adat.
- Kolaborasi pengelolaan hutan, di mana masyarakat adat menjadi pelaku utama, bukan objek kebijakan.
- Pendidikan lingkungan berbasis nilai lokal, agar generasi muda memahami akar budaya dan tanggung jawab ekologisnya.
- Transparansi investasi dan izin usaha, agar setiap proyek di kawasan hutan mempertimbangkan aspek sosial dan ekologis secara menyeluruh.
Masyarakat adat bukan musuh pembangunan. Mereka adalah mitra sejati dalam menjaga bumi tetap lestari.
Karena mereka tidak hanya menjaga hutan untuk hidup hari ini, tetapi juga untuk anak cucu di masa depan.
7. Hutan Adalah Cermin Hati Bangsa
Ketika hutan ditebang, sebenarnya yang gundul bukan hanya pepohonan, tapi juga hati manusia yang kehilangan rasa malu terhadap alam.
Jika masyarakat adat terus disingkirkan, maka yang punah bukan hanya budaya mereka, tetapi juga kebijaksanaan yang menjaga bumi selama berabad-abad.
Perlindungan hutan adat berarti melindungi jiwa bangsa.
Menjaga masyarakat adat berarti menjaga nurani kita sendiri.
Karena bangsa yang kehilangan hutannya, sesungguhnya sedang kehilangan akar kehidupan dan arah masa depan.
Penulis Azhari