Aceh Butuh Qanun Poligami: Menyelamatkan Hak Anak dalam Administrasi Negara
(Opini Hukum dan Sosial Islam)
Oleh: Azhari
1. Pengantar: Antara Syariat, Realitas, dan Keadilan
Poligami adalah isu yang sering memunculkan perdebatan tajam di tengah masyarakat Aceh. Ada yang melihatnya sebagai bagian dari syariat Islam yang harus dihormati, ada pula yang menilai praktiknya telah disalahgunakan dan merugikan perempuan serta anak. Namun, di luar pro-kontra moral dan emosional, satu fakta penting sering diabaikan: ketiadaan aturan yang jelas telah membuat banyak perempuan dan anak kehilangan perlindungan hukum.
Aceh, sebagai daerah dengan kekhususan dan keistimewaan dalam pelaksanaan syariat Islam, sejatinya memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan sosial dan keluarga melalui Qanun. Namun hingga kini, Aceh belum memiliki Qanun Poligami yang komprehensif — yang tidak hanya membicarakan boleh atau tidaknya poligami, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa praktik tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah terbesar bukan pada poligaminya, melainkan pada ketiadaan mekanisme hukum dan administrasi yang jelas. Banyak pernikahan poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa izin istri pertama, tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA), dan tanpa keputusan Mahkamah Syar’iyah. Akibatnya, muncul generasi “tidak diakui” — anak-anak yang sah secara agama, namun tidak diakui secara hukum negara. Mereka kesulitan memperoleh akta kelahiran, warisan, dan perlindungan sosial.
2. Poligami dalam Perspektif Syariat Islam
Dalam Islam, poligami adalah rukhshah (keringanan), bukan perintah mutlak. Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa ayat 3 membolehkan seorang laki-laki menikahi hingga empat perempuan “jika kamu mampu berlaku adil.”
Namun, ayat yang sama menutup dengan peringatan keras:
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil, maka (nikahilah) satu saja.”
Artinya, izin poligami bukan hak mutlak, melainkan ujian keadilan.
Keadilan yang dimaksud bukan hanya dalam nafkah lahir, tetapi juga dalam kasih sayang, perhatian, dan perlakuan. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud:
“Barang siapa mempunyai dua istri lalu ia tidak berlaku adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring.”
Dengan demikian, poligami yang dilakukan tanpa keadilan bukanlah ibadah, tetapi kezaliman. Maka, pengaturan poligami melalui Qanun bukan bertujuan menghalangi syariat, melainkan justru untuk menegakkan nilai keadilan yang menjadi inti dari hukum Islam.
3. Kekosongan Hukum dan Dampak Sosial di Aceh
Di banyak daerah Aceh, praktik poligami masih terjadi secara tradisional. Seorang laki-laki menikah dengan perempuan kedua, bahkan ketiga, dengan restu tokoh adat atau imam gampong, namun tanpa pencatatan resmi.
Secara sosial, masyarakat sering “memaklumi,” tetapi secara hukum, pernikahan tersebut dianggap tidak sah menurut negara.
Dampaknya sangat luas:
- Anak hasil pernikahan tidak memiliki akta kelahiran resmi. Nama ayah sering tidak dapat dicantumkan, karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat.
- Istri kedua tidak memiliki hak hukum atas harta bersama. Ketika suami meninggal, ia tidak dapat menuntut hak waris karena statusnya tidak diakui secara administratif.
- Anak terancam kehilangan hak pendidikan dan jaminan sosial. Banyak lembaga negara mensyaratkan dokumen hukum yang sah untuk layanan publik.
Secara sosial, hal ini menimbulkan stigma dan penderitaan psikologis. Anak dianggap “tidak sah,” dan istri kedua sering dipandang “pelakor,” padahal ia mungkin juga korban ketidaktahuan hukum.
Tanpa Qanun Poligami, Aceh sedang membiarkan masalah ini terus berulang — di mana hukum agama dijalankan setengah, dan hukum negara diabaikan seluruhnya.
4. Poligami dalam Kerangka Hukum Nasional
Secara nasional, poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 55–59.
Dalam hukum positif, poligami hanya dapat dilakukan dengan izin Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) apabila memenuhi syarat:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.
- Istri cacat atau tidak dapat melahirkan.
- Suami memperoleh persetujuan istri pertama.
- Suami mampu menjamin kebutuhan hidup dan keadilan bagi semua istri.
Namun di Aceh, praktik hukum ini tidak berjalan optimal karena minimnya pengawasan dan ketiadaan qanun pendukung.
Mahkamah Syar’iyah sering menerima perkara isbat nikah setelah anak lahir atau suami meninggal, yang artinya pengaturan dilakukan secara reaktif, bukan preventif.
Qanun Poligami dapat menjadi dasar hukum daerah yang menyesuaikan regulasi nasional dengan konteks sosial dan nilai adat Aceh, tanpa mengingkari prinsip dasar hukum Islam dan UUD 1945.
5. Poligami dan Hak Anak: Dimensi Administratif yang Mendesak
Salah satu isu paling krusial dalam praktik poligami tak tercatat adalah hak anak dalam administrasi negara.
Tanpa pencatatan nikah yang sah, anak tidak dapat dicatat sebagai anak sah dalam akta kelahiran. Akibatnya:
- Tidak bisa mencantumkan nama ayah di akta.
- Tidak berhak atas warisan.
- Kesulitan mengakses beasiswa, BPJS, dan hak-hak publik lainnya.
Padahal, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas identitas diri, nama, kewarganegaraan, dan perlindungan dari diskriminasi.
Artinya, negara wajib hadir memastikan hak-hak itu terpenuhi.
Qanun Poligami dapat menjadi instrumen penyelamatan administratif, dengan mengatur mekanisme pencatatan, pengesahan (isbat), dan pengakuan anak secara cepat, murah, dan tidak diskriminatif — tanpa harus menunggu perkara hukum yang rumit.
6. Tinjauan Filosofis dan Sosiologis: Syariat untuk Keadilan
Dalam sejarah Aceh, sistem hukum adat dan Islam selalu berpadu. Hukum bukan alat menghukum, tetapi jalan untuk mencapai maslahat (kemaslahatan).
Qanun Poligami seharusnya tidak dilihat sebagai kebijakan kontroversial, melainkan sebagai upaya pembenahan sosial.
Filosofinya jelas:
-
Menegakkan keadilan dan tanggung jawab laki-laki.
Poligami tidak boleh menjadi topeng untuk menghindari tanggung jawab, tetapi harus menjadi bentuk komitmen moral yang diatur dan diawasi. -
Melindungi perempuan dan anak dari penelantaran hukum.
Banyak istri kedua hidup dalam ketidakpastian karena statusnya tidak diakui. Qanun akan memberi kepastian. -
Menyelaraskan syariat dengan sistem administrasi negara.
Islam mengajarkan keteraturan dan pencatatan, sebagaimana dalam Al-Baqarah ayat 282 tentang pentingnya mencatat transaksi — apalagi ikatan suci pernikahan.
7. Rancangan Isi Qanun Poligami yang Ideal
Qanun Poligami Aceh dapat mencakup beberapa bab utama sebagai berikut:
a. Bab I: Ketentuan Umum dan Tujuan
Menegaskan bahwa qanun ini bertujuan melindungi hak perempuan dan anak, menertibkan administrasi perkawinan, serta menegakkan prinsip keadilan syariat.
b. Bab II: Syarat dan Prosedur Poligami
Menetapkan syarat ketat: kemampuan adil, izin istri pertama, bukti nafkah layak, serta pemeriksaan psikologis dan ekonomi oleh lembaga keagamaan.
c. Bab III: Izin dan Pengesahan di Mahkamah Syar’iyah
Setiap poligami wajib memperoleh izin tertulis dari Mahkamah Syar’iyah dengan rekomendasi dari MPU dan KUA setempat.
d. Bab IV: Perlindungan Hak Anak dan Istri
Menjamin hak anak atas akta kelahiran, hak waris, pendidikan, dan perlindungan dari stigma sosial. Istri berhak atas nafkah, tempat tinggal, dan harta bersama.
e. Bab V: Pengawasan dan Sanksi
Memberikan sanksi sosial, administratif, bahkan pidana ringan bagi pelaku yang melakukan poligami tanpa izin, atau yang menelantarkan istri dan anak.
Dengan struktur seperti ini, Qanun Poligami tidak hanya menjadi payung hukum, tetapi juga instrumen sosial dan moral bagi masyarakat Aceh.
8. Mekanisme Isbat Nikah dan Pengakuan Anak
Dalam situasi di mana poligami sudah terjadi tanpa pencatatan, Qanun dapat memberikan mekanisme isbat nikah khusus.
Isbat (penetapan sahnya pernikahan) dapat dilakukan melalui Mahkamah Syar’iyah dengan prosedur sederhana, di mana:
- Pernikahan dibuktikan dengan saksi dan bukti syariat.
- Anak diakui sah sebagai anak biologis dan berhak memperoleh dokumen kependudukan.
- Proses pencatatan dilakukan setelah putusan isbat tanpa biaya besar.
Dengan mekanisme ini, Qanun Poligami bukan hanya mengatur, tetapi juga memulihkan keadilan sosial bagi anak-anak yang sebelumnya terpinggirkan oleh sistem administrasi negara.
9. Tantangan Politik dan Sosial
Membentuk Qanun Poligami tentu tidak mudah. Ada dua tantangan utama:
-
Resistensi moral dari sebagian kelompok masyarakat dan aktivis perempuan.
Mereka khawatir qanun akan membuka ruang poligami bebas. Namun hal ini bisa diantisipasi dengan menegaskan bahwa qanun bukan untuk mendorong, melainkan menertibkan dan melindungi. -
Tantangan birokrasi dan koordinasi antar lembaga.
Implementasi qanun memerlukan sinergi antara Mahkamah Syar’iyah, Dinas Syariat Islam, Dinas Kependudukan, MPU, dan perangkat gampong.
Meski berat, langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya menjalankan syariat secara simbolik, tetapi substantif — dengan menghadirkan keadilan sosial bagi perempuan dan anak.
10. Syariat yang Melindungi, Bukan Menyakiti
Qanun Poligami bukan tentang memberi ruang bagi laki-laki untuk beristri banyak.
Qanun ini adalah pagar moral dan hukum, agar syariat berjalan dalam koridor keadilan, bukan hawa nafsu.
Selama belum ada Qanun Poligami, maka Aceh akan terus menghadapi persoalan hukum keluarga yang berulang: anak-anak tanpa akta, perempuan tanpa perlindungan, dan pernikahan tanpa tanggung jawab.
Maka, menyusun Qanun Poligami bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral dan hukum bagi pemerintah Aceh.
Karena dalam setiap pasal qanun yang kita tulis, sesungguhnya kita sedang menulis masa depan anak-anak Aceh — agar mereka tumbuh sebagai generasi yang diakui, dihormati, dan dilindungi.
Dan itulah inti dari hukum Islam yang sesungguhnya:
melindungi yang lemah, menegakkan keadilan, dan menjaga martabat manusia.
Penulis Azhari
Kalau salah, silahkan di komentar