Ada banyak orang di negeri ini yang tampak sibuk setiap hari. Pagi-pagi sudah tergesa, jalanan penuh, kantor ramai, rapat di sana-sini. Tapi ketika malam tiba dan waktu pulang menjelang, yang tersisa hanya lelah — tanpa makna. Kita hidup di zaman di mana kesibukan sering disembah, dan hasil kerja sering dilupakan.
Seperti tupai di hutan, banyak manusia berputar di roda pekerjaannya, lincah tapi tak pernah maju. Melompat ke sana-sini, tapi ujungnya tetap di tempat yang sama. Itulah wajah sebagian besar pekerja modern — penuh aktivitas, tapi miskin arah. Sibuk dengan laporan, tapi lupa dengan tujuan. Berlari dari jam ke jam, tapi tak tahu untuk apa.
Pekerja yang Lupa Esensi
Hari ini, banyak orang bekerja bukan karena cinta pada profesi, tapi karena takut lapar. Mereka bekerja bukan untuk menunaikan amanah, tapi demi gaji tanggal muda. Lalu, ketika gaji habis, semangat pun padam. Pekerjaan menjadi beban, bukan pengabdian. Padahal, kerja sejati mestinya menghidupkan jiwa, bukan sekadar mengisi rekening.
Lebih tragis lagi, di antara mereka ada yang menjadi tukang pura-pura sibuk — datang paling pagi, pulang paling sore, tapi hasilnya nihil. Yang penting tampak aktif di depan atasan. Mereka ahli memutar kata, bukan memutar otak. Mereka sibuk membuat kesan, bukan kemajuan.
Pekerjaan yang Tak Bernilai
Ada pula yang bekerja seperti robot: tanpa jiwa, tanpa rasa. Laporan disusun tanpa hati, tugas dikerjakan tanpa nurani. Saat diminta tanggung jawab, yang muncul hanya alasan. Saat diminta inovasi, yang keluar hanya keluhan. Mereka berpikir bekerja itu cukup hadir — padahal hadir tanpa kontribusi hanyalah bentuk absen yang lain.
Beginilah jadinya jika kerja kehilangan makna.
Kantor menjadi hutan beton tempat manusia meloncat tanpa arah.
Pekerjaan menjadi drama panjang yang dimainkan demi angka dan pangkat.
Kerja yang Bermakna Butuh Kesadaran
Kita butuh pekerja yang tak hanya cepat, tapi tepat. Tak hanya rajin, tapi juga berpikir. Kerja yang bermakna lahir dari kesadaran — bahwa setiap jam yang digunakan adalah amanah. Bahwa hasil kerja bukan sekadar milik pribadi, tapi tanggung jawab sosial. Karena sesungguhnya, kerja tanpa nilai hanyalah kesibukan yang mematikan jiwa.
Tupai mungkin lucu ketika berlari di roda, tapi manusia akan tampak tragis bila hidupnya hanya berputar tanpa arah. Kesibukan tanpa visi hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab sejati.
Penutup: Kembalilah ke Makna Kerja
Bekerjalah dengan hati, bukan sekadar rutinitas.
Jangan jadikan pekerjaan sekadar pelarian dari kemiskinan, tapi jadikan ia sebagai jalan menuju keberkahan.
Karena kerja yang bermakna bukan diukur dari panjang jam lembur, tapi dari kejujuran, niat, dan tanggung jawab di balik setiap hasil.
Dan jika kita masih bekerja seperti tupai — lincah tapi tak tahu tujuan — maka sesungguhnya yang kita lakukan bukan “membangun masa depan”, tapi hanya berputar dalam lingkaran yang sama, sambil menunggu waktu habis tanpa arti.