Penyesalan Hadir Ketika Cinta Dipaksa: Luka dari Pernikahan Tanpa Pilihan
Dalam sunyi malam setelah semuanya terlambat, seorang perempuan sering merenung: “Andai dulu aku bisa memilih.”
Kalimat sederhana itu menjadi gema dari begitu banyak hati yang pernah dipaksa menikah atas nama restu, kehormatan, atau adat. Pernikahan yang dibangun bukan dari cinta, tapi dari keputusan orang lain yang dianggap lebih tahu. Dan kini, setelah bertahun-tahun hidup dalam rumah tangga yang tanpa jiwa, barulah penyesalan itu muncul — pelan, tapi menikam.
Cinta yang Tidak Pernah Dikenal
Cinta seharusnya menjadi fondasi rumah tangga. Ia bukan sekadar perasaan, tapi energi spiritual yang membuat dua insan mau saling memahami, berkorban, dan bertahan. Namun, bagaimana jika cinta itu tidak pernah ada sejak awal?
Banyak kisah di tengah masyarakat kita, terutama di pedesaan, tentang gadis yang dijodohkan karena alasan keluarga, status sosial, atau utang budi. Ada pula yang dinikahkan karena “takut jadi perawan tua” atau karena orang tua merasa lebih tahu siapa yang pantas menjadi suami.
Dalam tradisi tertentu, keputusan orang tua masih dianggap mutlak. “Yang penting anaknya menikah baik-baik,” kata sebagian orang tua. Tapi siapa yang bisa menjamin “baik-baik” jika hati anaknya tidak diikutsertakan dalam keputusan itu?
Pernikahan tanpa cinta bagaikan rumah tanpa pondasi. Ia mungkin bisa berdiri, tapi retaknya mudah terlihat.
Ketika Janji Suci Tak Lagi Bermakna
Hari pernikahan seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup seorang perempuan. Namun, bagi sebagian yang dijodohkan, hari itu justru menjadi awal dari keterpaksaan panjang.
Mereka berdiri di pelaminan dengan wajah tersenyum, tapi hatinya menangis. Mereka mengucap akad dengan bibir bergetar, sementara jiwanya menolak.
Cinta yang dipaksakan jarang bertahan lama. Karena cinta sejati tumbuh dari kebersamaan yang jujur, bukan dari paksaan dan ketakutan. Dalam rumah tangga seperti itu, setiap hari menjadi rutinitas tanpa makna. Suami menjadi sosok asing di samping tempat tidur, sementara istri belajar tersenyum untuk menutupi kekosongan batin.
Lambat laun, kebisuan berubah menjadi dingin, dingin berubah menjadi jarak, dan jarak itu pelan-pelan memisahkan dua hati yang sejak awal tak pernah benar-benar bersatu.
Di Balik Restu yang Dipaksakan
Orang tua sering berkata, “Kami hanya ingin anak kami bahagia.” Tapi terkadang, niat baik pun bisa berubah menjadi jerat ketika diwujudkan dengan cara yang salah.
Restu memang penting, tapi restu seharusnya menjadi berkah, bukan tekanan.
Banyak perempuan yang terpaksa menikah karena takut mengecewakan orang tua, takut dianggap durhaka. Namun setelah hidup bersama, mereka menyadari bahwa restu tidak cukup untuk menumbuhkan cinta.
Pernikahan yang ideal adalah pertemuan dua restu: restu orang tua dan restu hati anak. Tanpa yang kedua, restu pertama bisa berubah menjadi kutukan.
Ketika Penyesalan Menjadi Guru
Waktu berjalan, usia bertambah, anak lahir, tapi rasa hampa tetap sama. Banyak istri yang akhirnya hidup hanya untuk bertahan. Mereka memaksakan diri untuk mencintai, padahal hati telah lelah.
Di depan anak-anak, mereka tetap tersenyum. Di depan keluarga, mereka pura-pura bahagia. Tapi di dalam hati, hanya ada doa lirih: “Ya Allah, sampai kapan aku harus begini?”
Penyesalan tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, seiring kesadaran bahwa hidup tidak bisa dijalani tanpa kejujuran pada diri sendiri.
Beberapa perempuan akhirnya memutuskan untuk bertahan demi anak, sementara yang lain memilih berpisah demi kesehatan batin. Keduanya sama-sama butuh keberanian.
Namun apa pun pilihannya, mereka belajar satu hal: cinta tidak bisa dipaksakan. Karena cinta sejati bukan datang dari orang lain, tapi tumbuh dari kerelaan dua hati yang saling memilih.
Anak-Anak: Korban Sunyi dari Pernikahan Tanpa Cinta
Dari luar, keluarga hasil perjodohan mungkin tampak utuh. Namun di dalamnya, anak-anak sering menjadi saksi dari kehampaan orang tua mereka.
Mereka merasakan dinginnya rumah tanpa kasih sayang yang tulus. Mereka tumbuh melihat ayah dan ibu yang tidak saling menatap dengan cinta, hanya berbicara seperlunya, dan hidup tanpa kehangatan.
Dari sanalah, luka itu menurun diam-diam. Anak belajar bahwa cinta tidak penting, bahwa pernikahan hanya formalitas, bahwa kebahagiaan adalah kemewahan.
Padahal sejatinya, anak-anak hanya ingin melihat orang tuanya saling mencintai, bukan hanya hidup bersama tanpa arah.
Antara Adat, Agama, dan Hak Asasi
Pernikahan paksa sering dibungkus dengan alasan adat dan moral. “Begitulah tradisi,” kata sebagian orang. Namun tidak semua tradisi harus dilestarikan jika melukai hak manusia untuk memilih.
Islam sendiri mengajarkan bahwa pernikahan harus atas dasar kerelaan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah pernikahan seorang wanita tanpa persetujuannya.”
Hadis ini jelas menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak calon suami. Maka, memaksa seorang anak menikah atas nama adat justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Cinta dan restu seharusnya berjalan beriringan, bukan saling menindas. Orang tua berhak memberi nasihat, tapi anak juga berhak menentukan masa depan hatinya. Karena yang akan menjalani kehidupan itu bukan orang tua, melainkan anaknya sendiri.
Pernikahan: Bukan Sekadar Ijab Kabul
Banyak yang mengira pernikahan hanya tentang menyatukan dua keluarga, padahal hakikatnya adalah menyatukan dua jiwa. Ijab kabul hanyalah awal; setelah itu ada perjalanan panjang bernama kehidupan.
Tanpa cinta, perjalanan itu terasa seperti menempuh padang tandus. Tak ada pelukan yang menenangkan, tak ada senyum yang menumbuhkan harapan.
Bahkan ibadah yang seharusnya menjadi sumber pahala bisa terasa berat jika dilakukan dengan hati yang tidak bahagia.
Cinta dalam pernikahan bukan sekadar romantisme, tapi energi untuk bertahan, saling memaafkan, dan tumbuh bersama. Ketika cinta tidak ada, rumah tangga kehilangan arah, dan hidup kehilangan makna.
Ketika Semua Sudah Terlambat
Bagi banyak perempuan, penyesalan datang setelah bertahun-tahun. Setelah mencoba mencintai, setelah berkorban tanpa dihargai, setelah menyadari bahwa kebahagiaan bukan bisa dipaksa.
Beberapa akhirnya berpisah, beberapa tetap bertahan dalam diam. Tapi satu hal yang sama: mereka menyesal tidak pernah berani berkata jujur pada awalnya.
“Andai dulu aku bisa menolak…” kalimat itu mungkin terucap di hati, namun waktu tak bisa diputar kembali.
Kini, yang tersisa hanyalah pelajaran — bahwa menikah tanpa cinta bukan bentuk kesalehan, melainkan pengorbanan yang sering kali tak adil.
Belajar untuk Generasi Berikutnya
Pernikahan paksa bukan hanya masalah individu, tapi warisan pola pikir yang harus dihentikan. Kita harus berani mengubah cara pandang bahwa “anak harus patuh sepenuhnya dalam urusan jodoh.”
Anak perlu dibimbing, bukan dikendalikan. Orang tua wajib mendoakan, bukan memaksa. Karena jika cinta lahir dari paksaan, maka luka akan lahir dari pernikahan.
Sudah saatnya masyarakat membuka mata: bahwa kebahagiaan bukan bisa diwariskan lewat keputusan orang tua, melainkan tumbuh dari kebebasan anak untuk memilih dengan hati yang matang.
Cinta yang Seharusnya Diberi Kesempatan
Pernikahan adalah perjalanan panjang yang hanya bisa dijalani dengan keikhlasan dan cinta. Tanpa keduanya, rumah tangga hanyalah kewajiban tanpa jiwa.
Penyesalan yang lahir dari pernikahan paksa menjadi pengingat bagi kita semua: jangan pernah bermain-main dengan kehidupan seseorang atas nama adat, gengsi, atau kehormatan keluarga.
Cinta yang sejati butuh ruang untuk tumbuh, bukan pagar untuk dikurung. Biarlah anak-anak memilih dengan doa dan pertimbangan, bukan dengan rasa takut. Karena pada akhirnya, yang akan menanggung bahagia atau derita dari sebuah pernikahan bukanlah orang tua, melainkan mereka yang menjalaninya setiap hari.
Jika cinta adalah anugerah Tuhan, maka memaksanya berarti kita sedang menolak kehendak Tuhan itu sendiri.
Penulis AZHARI