Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Konser yang Tak Pernah Dihentikan: Antara Slank dan Simfoni Alam Aceh

Selasa, 04 November 2025 | 22:16 WIB Last Updated 2025-11-04T15:16:32Z
(Ketika Moral Jadi Alasan, Tapi Alam Jadi Korban)

Konser Slank dikabarkan batal digelar di Aceh. Alasannya, katanya, demi menjaga moral, budaya, dan ketertiban umum. Sebagian pihak menilai konser itu tak sesuai dengan nilai-nilai keislaman, dapat memicu kerumunan yang tak terkendali, bahkan dianggap berpotensi menodai citra Aceh sebagai daerah berstatus syariat Islam.

Namun di balik panggung yang tak jadi berdiri itu, ada konser lain yang terus berlangsung — konser kehancuran alam raya.
Ia tidak memakai panggung megah, tak punya tata cahaya atau pengeras suara, tapi dentumannya justru lebih keras dan menghancurkan: deru gergaji mesin, dentuman alat berat tambang, dan jeritan hutan yang kehilangan rindangnya.

Aceh, sejatinya, punya musiknya sendiri. Musik yang tak butuh lirik atau sorotan panggung. Suara ombak Lhoknga yang menepuk pantai, desir angin Takengon yang menyentuh danau, kicauan burung Leuser yang menandai pagi — semuanya adalah simfoni alam Aceh.
Musik tanpa konser, tapi menyentuh relung jiwa.

Kini, simfoni itu makin sumbang.
Hutan-hutan Aceh digunduli, sungai-sungai tercemar, satwa langka diburu.
Memang, tak ada panggung yang roboh seperti isu konser Slank, tapi panggung kehidupan di bumi Aceh perlahan runtuh — satu demi satu.

Ketika Moral Jadi Alasan, Tapi Alam Jadi Korban

Ironi kita begitu jelas:
Mereka yang paling keras menolak konser musik atas nama moral dan budaya, justru diam seribu bahasa saat alam dirusak di depan mata.
Seolah bunyi gitar lebih berbahaya daripada bunyi gergaji mesin.
Seolah suara Slank lebih menodai daripada suara tambang yang menggerus bumi.

Jika alasan moral menjadi dasar pelarangan konser musik, maka seharusnya moral terhadap alam adalah hal pertama yang dijaga.
Karena kehancuran lingkungan juga adalah bentuk pelanggaran moral — terhadap ciptaan Tuhan, terhadap generasi masa depan, dan terhadap amanah khalifah fil ardh yang diemban manusia.

Moral bukan hanya tentang cara berpakaian dan tata perilaku di panggung hiburan. Moral juga tentang cara kita memperlakukan bumi yang memberi kehidupan.
Kita berteriak menjaga akidah dari pengaruh musik, tapi membiarkan kerakusan mengikis tanah warisan nenek moyang.
Kita menolak dentuman lagu di stadion, tapi diam terhadap dentuman dinamit di perut gunung.

Inilah ironi moral yang sedang tumbuh di Aceh — ketika agama hanya dijaga di panggung, tapi dilupakan di hutan.

Konser Alam yang Terus Dirusak

Mari kita lihat konser alam Aceh hari ini.
Di Aceh Timur dan Aceh Tamiang, deforestasi meningkat akibat aktivitas ilegal logging dan tambang rakyat. Di Gayo Lues dan Aceh Tengah, kawasan konservasi Leuser terancam oleh ekspansi kebun dan perburuan satwa.
Di pesisir Barat-Selatan, abrasi merusak garis pantai, sementara hutan mangrove ditebang tanpa reboisasi.

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh beberapa waktu lalu menyebut, lebih dari 300 ribu hektare kawasan hutan Aceh telah mengalami degradasi berat dalam dua dekade terakhir.
Dampaknya nyata: banjir bandang, longsor, gagal panen, dan meningkatnya suhu lokal.
Namun suara yang terdengar justru bukan suara alarm, melainkan suara diam — tanda bahwa kepekaan sosial kita telah mati rasa.

Mereka yang menolak konser musik demi menjaga “ketertiban moral”, seolah lupa bahwa ketertiban ekologi juga bagian dari ibadah.
Sebab, menjaga alam berarti menjaga ciptaan Allah.
Bila bumi rusak, manusia yang menanggung akibatnya.
Bila hutan hilang, rezeki ikut hilang.
Dan bila air tak lagi mengalir, doa pun sulit dijalankan dengan wudhu yang suci.

Hilangnya Kepekaan dan Rasa Syukur

Kini, ketika musik alam tak lagi terdengar, hati kita pun ikut tumpul.
Kita tidak lagi menangis melihat pohon tumbang, tidak lagi peduli pada gajah yang ditembak, dan tidak lagi heran melihat banjir datang setiap musim hujan.
Kita terbiasa, dan kebiasaan itu membunuh kepekaan kita terhadap nilai kehidupan.

Padahal, justru dari kepekaan itulah moral sejati lahir.
Moral bukan hanya tentang menolak, tapi juga tentang menjaga, memelihara, dan memperbaiki.
Seorang pemimpin yang menolak konser musik tapi membiarkan alam rusak, sama saja menutup telinga dari panggilan Tuhan dalam bentuk bencana.

Aceh dulu dikenal sebagai Serambi Mekkah, bukan hanya karena masyarakatnya religius, tapi karena tanahnya subur, udaranya sejuk, dan warganya hidup dalam keseimbangan dengan alam.
Kini, serambi itu perlahan retak — bukan karena musik modern, tapi karena kita sendiri yang menodainya dengan keserakahan.

Kita Semua Penonton Konser yang Salah

Mungkin konser Slank batal. Tapi konser alam yang hancur terus berjalan setiap hari.
Dan kitalah penontonnya — duduk di barisan paling depan, sambil berpura-pura tak mendengar irama derita bumi.

Kita ribut tentang konser musik yang hanya berlangsung dua jam, tapi diam terhadap kerusakan lingkungan yang berlangsung puluhan tahun.
Kita memprotes panggung hiburan, tapi lupa bahwa di baliknya ada panggung kehidupan yang sedang sekarat.

Aceh butuh keseimbangan antara agama dan akal, antara budaya dan kemajuan, antara iman dan tindakan nyata.
Karena menjaga moral tanpa menjaga bumi hanyalah separuh ibadah.
Dan melarang musik sambil membiarkan hutan mati hanyalah ironi peradaban.

 Ketika Alam Tak Lagi Bernyanyi

Suatu hari nanti, mungkin tak akan ada lagi kicau burung Leuser, tak ada lagi desir angin Takengon, dan tak ada lagi ombak Lhoknga yang menepuk karang.
Mungkin saat itu kita baru sadar, bahwa yang kita bubarkan bukan konser Slank, melainkan konser kehidupan itu sendiri.

Maka sebelum semuanya benar-benar diam, marilah kita jujur pada diri sendiri:
Bukan musik yang merusak moral, tapi ketidakadilan, keserakahan, dan kebisuan kita terhadap alam yang sedang menjerit.

Karena jika suara gitar bisa dihentikan, semestinya suara gergaji mesin pun bisa kita hentikan.
Dan hanya di situlah, Aceh akan kembali punya musiknya sendiri —
musik yang datang dari hati, dari alam, dan dari jiwa yang sadar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah paling suci.