Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pelarian dalam Pernikahan: Di Tinggal Mantan, Pergi Menikah Paksa

Selasa, 04 November 2025 | 23:22 WIB Last Updated 2025-11-04T16:22:40Z




Ada yang menikah karena cinta, ada pula yang menikah karena terpaksa. Namun ada juga yang menikah karena luka. Luka yang belum sembuh, namun buru-buru ditutup dengan cincin di jari manis. Padahal, pernikahan bukanlah tempat pelarian. Ia bukan ruang untuk bersembunyi dari kenangan masa lalu. Ia adalah tanggung jawab yang lahir dari kesadaran, bukan pelampiasan dari kehilangan.

Banyak kisah di luar sana, seorang gadis yang patah hati karena ditinggal kekasih—lalu menerima lamaran orang yang bahkan tidak ia cintai. Alasannya sederhana: ingin segera melupakan masa lalu, ingin membuktikan bahwa ia kuat, ingin terlihat sudah “move on.” Tapi pernikahan yang lahir dari pelarian jarang memberi ketenangan. Ia hanya memindahkan luka dari satu ruang hati ke ruang yang lain, dengan wajah dan nama yang berbeda.

Ketika malam datang dan sunyi mulai berbicara, barulah terasa—bahwa cinta yang dipaksakan tak pernah bisa tumbuh dengan damai. Istri mulai ragu, suami merasa jauh, dan rumah tangga berubah jadi panggung kebisuan. Tak ada tawa, tak ada gairah, hanya sisa-sisa ketegangan yang terus menumpuk. Pelarian yang dulu dianggap solusi, kini menjelma jadi penjara batin.

Mereka yang menikah karena terpaksa sering kali tak menyadari, bahwa cinta yang belum selesai bisa menjadi hantu dalam pernikahan. Setiap perbandingan dengan masa lalu menjadi racun, setiap kenangan lama menjadi pisau. Hingga akhirnya, bukan hanya luka lama yang belum sembuh—tetapi juga luka baru yang mulai tumbuh.

Padahal, pernikahan yang sehat memerlukan dua hal: keikhlasan dan kesiapan. Keikhlasan untuk menerima masa lalu, dan kesiapan untuk memulai bab baru. Jika salah satu di antara itu hilang, maka cinta hanya akan jadi ilusi yang perlahan membunuh kehangatan rumah tangga.

Pernikahan yang dijalankan sebagai pelarian bukanlah kemenangan, melainkan kekalahan yang disembunyikan dalam balutan adat dan pesta. Bukan keberanian, melainkan ketakutan untuk menghadapi kesendirian. Dan ketika semua sudah terlambat, yang tersisa hanya penyesalan—karena menikah bukan untuk saling menyembuhkan, melainkan untuk saling melupakan.

Jika cinta lama hilang, biarlah waktu yang menguburnya. Jangan menjadikan orang lain sebagai pelampiasan atas kehilangan. Karena cinta yang lahir dari pelarian tak akan mampu menyelamatkan hati, justru menenggelamkan keduanya dalam rasa sesal yang panjang.