Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Konflik Lahan dengan Perusahaan: Pemerintah Aceh Harus Turun Tangan Demi Masyarakat yang Damai

Rabu, 05 November 2025 | 01:40 WIB Last Updated 2025-11-04T18:40:11Z




Konflik lahan di Aceh bukanlah cerita baru. Sejak masa kolonial hingga kini, tanah selalu menjadi sumber sengketa yang berulang—antara rakyat yang mempertahankan hak hidupnya dan korporasi yang mengklaim legalitas atas dasar izin. Kini, konflik serupa kembali mencuat antara masyarakat dan salah satu perusahaan besar (PT) yang beroperasi di Aceh. Di tengah janji pembangunan dan investasi, masyarakat justru menjadi pihak yang tersisih dari tanah yang mereka rawat turun-temurun.

Pemerintah Aceh tidak boleh berpangku tangan. Konflik agraria bukan sekadar sengketa administratif, tetapi menyangkut hak hidup, keadilan sosial, dan martabat manusia. Setiap hektare tanah yang diperebutkan memiliki sejarah—ada keringat petani, ada doa keluarga, dan ada hak anak cucu yang seharusnya dilindungi negara. Bila pemerintah hanya menjadi penonton, maka kepercayaan rakyat akan runtuh dan luka sosial semakin dalam.

Tanah: Sumber Kehidupan, Bukan Sekadar Objek HGU

Banyak perusahaan di Aceh memegang izin Hak Guna Usaha (HGU) yang luas, tetapi tidak semuanya dikelola secara produktif. Sebagian besar justru menjadi lahan tidur, sementara masyarakat di sekitarnya hidup dalam kemiskinan. Ironisnya, ketika rakyat mencoba memanfaatkan lahan itu untuk bertani atau membangun rumah, mereka malah dianggap “penyerobot.” Padahal, sejarah mencatat bahwa sebelum perusahaan datang, rakyatlah yang lebih dulu menjaga, menanam, dan hidup di atas tanah itu.

Pemerintah Aceh perlu melakukan audit menyeluruh terhadap semua izin HGU yang telah diterbitkan. Sudah saatnya memastikan bahwa setiap jengkal tanah di Aceh digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir kelompok yang bersembunyi di balik nama perusahaan.

Jalan Damai Harus Diciptakan, Bukan Diharapkan

Konflik antara rakyat dan perusahaan sering kali berujung pada kekerasan. Aparat turun tangan, rakyat ditangkap, dan luka sosial pun melebar. Padahal, semua bisa dihindari jika pemerintah hadir sejak awal sebagai mediator yang adil. Pemerintah Aceh harus menempatkan diri sebagai penengah yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan modal.

Langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Membentuk Tim Mediasi Independen yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, ulama, dan perwakilan masyarakat adat.
  • Melakukan peninjauan ulang terhadap izin perusahaan yang bertentangan dengan batas tanah ulayat atau tanah garapan rakyat.
  • Menjamin keamanan masyarakat dari intimidasi, serta menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap petani.

Keadilan Agraria adalah Keadilan Sosial

Konflik lahan tidak hanya tentang tanah, tetapi juga tentang keadilan sosial. Ketika rakyat kehilangan tanah, maka mereka kehilangan sumber penghidupan. Akibatnya, kemiskinan meningkat, ketimpangan melebar, dan potensi konflik horizontal membesar.

Aceh yang damai pasca-MoU Helsinki seharusnya belajar dari masa lalu. Kedamaian bukan hanya bebas dari senjata, tetapi juga hadirnya keadilan bagi rakyat kecil. Pemerintah Aceh harus berani melawan praktik monopoli tanah, bahkan jika pelakunya adalah perusahaan besar yang memiliki jaringan kuat di pusat.

Rakyat yang berjuang mempertahankan tanahnya bukanlah penjahat. Mereka adalah penjaga keadilan yang sesungguhnya. Mereka bukan anti-investasi, mereka hanya ingin hak hidupnya dihormati.

Penutup: Pemerintah Harus Hadir, Sekarang Juga

Aceh tidak butuh pemerintah yang sibuk berdebat soal kekuasaan, tetapi yang mampu menyelesaikan masalah rakyat dengan hati dan nurani. Jika pemerintah tidak segera turun tangan, konflik lahan akan menjadi bara yang terus membakar harmoni sosial Aceh.

Tanah bukan sekadar benda, ia adalah identitas, sejarah, dan masa depan rakyat. Dan ketika rakyat mempertahankan tanahnya, itu bukan bentuk perlawanan terhadap negara, tetapi seruan agar negara kembali kepada tugas utamanya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.