Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pelarian dalam Pernikahan — Ditinggal Mantan, Menikah karena Terpaksa

Selasa, 04 November 2025 | 23:21 WIB Last Updated 2025-11-04T16:21:31Z


Ada cinta yang lahir dari takdir, ada pula yang tumbuh dari luka. Di antara keduanya, terselip kisah yang kerap tak disadari: pernikahan yang lahir bukan dari cinta sejati, melainkan dari pelarian. Sebuah keputusan besar yang diambil bukan karena kesiapan hati, tapi karena kehilangan, keterpaksaan, dan tekanan sosial. Begitulah kisah banyak perempuan (dan laki-laki) yang memilih menikah setelah ditinggalkan kekasih yang dulu dianggap segalanya.

Ketika Hati Belum Sembuh, Pernikahan Jadi Pelarian

Dalam banyak kisah, seseorang yang baru saja ditinggal oleh kekasih sering kali berada dalam fase paling rapuh dalam hidupnya. Ia ingin segera melupakan, menutup luka, dan membuktikan bahwa dirinya mampu bahagia tanpa orang yang telah pergi. Namun dalam kondisi jiwa yang belum pulih, keputusan besar seperti menikah justru sering menjadi pelarian yang berujung penyesalan.

Bagi sebagian orang, pernikahan dianggap sebagai obat patah hati. Mereka berpikir, “Dengan menikah, aku akan melupakan dia.” Tapi pernikahan bukan ruang pelarian, melainkan ladang tanggung jawab yang membutuhkan ketenangan, kesiapan, dan cinta yang matang. Ketika seseorang menikah hanya untuk melupakan, maka yang tumbuh bukan cinta — melainkan kebingungan dan kehampaan.

Pernikahan Tanpa Cinta: Jiwa yang Hidup Setengah Mati

Pernikahan paksa atau terpaksa sering kali melahirkan perasaan hampa. Mungkin rumah tangga tetap berjalan, tapi tanpa kehangatan batin. Suami dan istri hidup berdampingan, tapi jiwanya jauh. Tidak ada getaran yang menenangkan, tidak ada cinta yang menumbuhkan, hanya formalitas dan rutinitas yang kering.

Dalam situasi seperti itu, istri merasa seperti hidup di rumah sendiri tapi tidak benar-benar punya tempat. Suami mungkin baik, tapi bukan yang dicintai. Ia berusaha menjalankan peran sebagai istri, tapi di hatinya masih tersimpan bayangan masa lalu. Setiap kali kesepian datang, ingatan tentang “yang dulu” hadir kembali — dan di situlah penderitaan itu tumbuh.

Tekanan Sosial dan Budaya: Ketika Kata ‘Menikah’ Jadi Pelarian Terhormat

Di masyarakat kita, terutama di kalangan perempuan, status “belum menikah” sering dianggap sebagai beban sosial. Perempuan yang ditinggal menikah oleh mantan sering dihadapkan pada pandangan: “Kapan kamu nikah? Sudah tua nanti menyesal.” Pertanyaan seperti itu menekan, mengiris harga diri, dan menumbuhkan perasaan tidak berharga.

Dalam tekanan itu, banyak yang akhirnya memilih menikah bukan karena siap, tapi karena ingin membungkam omongan orang. Ia menerima pinangan yang datang hanya karena ingin membuktikan bahwa dirinya “tidak kalah.” Padahal, pernikahan yang dijalani tanpa cinta dan kesiapan hanya akan menambah luka baru yang lebih dalam.

Suami yang Tak Dikenal, Rumah yang Tak Hangat

Ketika pernikahan dijalani karena pelarian, maka pasangan yang dinikahi sering kali hanyalah “pengganti,” bukan “pilihan.” Ia dijadikan pelindung dari rasa sepi, bukan sahabat dalam perjuangan hidup. Dari sinilah konflik perlahan muncul — karena seseorang yang menikah dengan hati yang belum sembuh cenderung menuntut, membandingkan, dan sulit bersyukur.

Suami bisa menjadi korban tanpa tahu sebabnya. Ia merasa tidak pernah cukup, meski sudah berbuat banyak. Ia menghadapi istri yang diam, dingin, atau penuh jarak. Sedangkan di sisi lain, istri pun tersiksa karena merasa bersalah: menikah dengan orang yang tidak ia cintai, tapi juga tidak bisa pergi karena takut dianggap gagal.

Luka Lama yang Tak Pernah Sembuh

Pelarian dalam pernikahan bukan penyembuhan, melainkan penundaan luka. Ibarat seseorang yang terluka lalu menutupinya dengan kain, tanpa pernah mengobati. Luka itu tetap ada, bahkan semakin dalam. Ia mungkin tersenyum di depan orang, tapi hatinya berteriak setiap malam.

Ada banyak perempuan yang hidup dalam rumah tangga seperti itu: tampak bahagia di mata dunia, tapi di dalam hati ia bertanya, “Kenapa aku menikah dengannya?” Pertanyaan itu menghantui, terutama ketika melihat suami yang tak pernah mampu menggantikan tempat seseorang di masa lalu.

Dan yang lebih tragis, pernikahan seperti ini sering kali berakhir tanpa kebahagiaan — bukan karena pasangan tidak baik, tapi karena cinta yang seharusnya jadi pondasi, sejak awal tidak pernah ada.

Cinta yang Sejati Tak Bisa Dipaksa

Cinta sejati tidak tumbuh dari pelarian, tapi dari penerimaan. Tidak lahir dari luka, tapi dari kesadaran. Pernikahan tanpa cinta ibarat menanam pohon tanpa akar — akan tumbang pada hembusan angin pertama. Karena itu, sebelum memutuskan untuk menikah, seseorang harus terlebih dahulu menyembuhkan dirinya sendiri.

Cinta sejati tidak datang untuk menutup masa lalu, tapi untuk membuka masa depan. Ia bukan pelarian dari kehilangan, tapi jawaban dari ketenangan. Jika pernikahan dijadikan alat untuk melupakan orang lain, maka yang akan hilang bukan kenangan, melainkan kebahagiaan diri sendiri.

Belajar Menerima Takdir, Bukan Melawan Luka

Ada fase di mana seseorang harus belajar menerima: bahwa tidak semua cinta harus berujung bersama. Ditinggal mantan bukan akhir dunia, tapi mungkin cara Tuhan membawamu ke jalan yang lebih baik. Namun jika kehilangan itu direspon dengan keputusan terburu-buru untuk menikah, maka luka lama hanya akan berubah bentuk menjadi luka baru.

Pernikahan yang baik lahir dari dua orang yang siap, bukan dua orang yang terluka. Ia bukan ajang pembuktian kepada dunia, tapi ibadah kepada Tuhan. Maka ketika seseorang menikah karena tekanan atau pelarian, sejatinya ia belum benar-benar menikah — hanya sedang menandatangani kontrak hidup tanpa makna.

Refleksi: Antara Cinta, Luka, dan Keputusan Hidup

Pelarian dalam pernikahan sering kali berawal dari ketakutan — takut sendirian, takut dicap gagal, takut terlihat kalah dari mantan. Namun ketakutan bukan alasan untuk mengikat janji suci. Sebab pernikahan bukan pelampiasan emosi, tapi perjalanan spiritual dua insan yang ingin menua bersama.

Dan bagi siapa pun yang pernah merasa menikah karena pelarian, sadarlah bahwa belum terlambat untuk memperbaiki diri. Mungkin cinta memang tak hadir di awal, tapi bisa tumbuh jika dibangun dengan keikhlasan dan kejujuran. Namun jika setiap hari masih dihantui kenangan masa lalu, maka langkah pertama yang harus diambil bukan menyesali, tapi berdamai dengan diri sendiri.

Karena cinta yang belum usai bukan untuk dilupakan dengan menikah, tapi untuk disembuhkan dengan keikhlasan.

Penutup: Menikah Bukan Pelarian, Tapi Perjalanan

Menikah seharusnya bukan tempat melarikan diri dari luka, melainkan tempat pulang dari segala pencarian. Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa kita kuat, tapi untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa kita siap berbagi hidup dengan seseorang secara sadar.

Cinta sejati tidak menuntut tergesa-gesa. Ia menunggu waktu yang tepat, hati yang tenang, dan jiwa yang siap. Jika cinta lama pergi, biarkan ia pergi sebagai kenangan, bukan hantu yang menghantui hidup.

Dan jika akhirnya memilih menikah, pastikan bukan karena takut kehilangan, tapi karena ingin menemukan — bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin memulai.

Sebab pernikahan yang lahir dari pelarian hanya akan menjadi penjara. Tapi pernikahan yang lahir dari cinta sejati akan menjadi rumah yang abadi — meski sederhana, tapi penuh ketenangan.