Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Analisis Pengaruh Banjir Aceh Terkini terhadap Lingkungan Ketika Hujan Turun

Rabu, 10 Desember 2025 | 02:49 WIB Last Updated 2025-12-09T19:49:28Z



Oleh: AZHARI 


Banjir besar yang melanda Aceh pada akhir tahun 2025 telah meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat. Air bah yang menenggelamkan ribuan rumah, memutus akses jalan, menghanyutkan jembatan, dan melumpuhkan fasilitas umum seakan menjadi pengulangan tragedi besar yang pernah dialami Aceh dua dekade lalu—tsunami 2004. Banyak yang menyebut bahwa banjir tahun 2025 adalah “tsunami kedua tanpa gelombang laut”, karena dampaknya begitu luas, menyebar ke banyak kabupaten, dan memukul kehidupan rakyat secara sosial, ekonomi, psikologis, dan lingkungan.

Namun di balik tumpukan lumpur, tangisan anak-anak di tenda pengungsian, dan keputusasaan para kepala keluarga yang kehilangan tempat tinggal, bencana ini membawa pesan yang jauh lebih besar: bahwa bumi Aceh sedang sekarat. Hujan yang turun ke tanah Aceh tidak lagi menjadi rahmat, tetapi ancaman. Warga tidak lagi menatap langit dengan syukur, tetapi dengan rasa takut. Apa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Dan bagaimana masa depan Aceh bila hujan hari ini telah berubah menjadi pembawa bencana?


Kerusakan Ekologis: Akar Masalah Banjir yang Tidak Bisa Lagi Disembunyikan

Jika ditelusuri lebih dalam, banjir bukanlah masalah sesaat atau sekadar musibah alam. Ini adalah hasil akumulasi kesalahan manusia selama bertahun-tahun, ketika kekuasaan dan keuntungan ekonomi jangka pendek lebih diprioritaskan dibandingkan kelestarian lingkungan.

1. Hutan Gundul, Air Berjalan Tanpa Penghalang

Dalam teori dasar hidrologi, hutan berfungsi sebagai penyangga alam—mengikat air, menahan laju aliran, dan menyimpan cadangan di dalam tanah. Ketika pepohonan ditebang, tanah kehilangan daya cengkeram. Air hujan yang turun tidak lagi meresap, tetapi langsung berlari menuju dataran rendah dengan kecepatan besar. Inilah penyebab banjir bandang yang menghantam desa-desa tanpa peringatan.

Data kerusakan hutan Aceh selama satu dekade terakhir menunjukkan degradasi yang sangat serius. Pembalakan liar, konversi hutan menjadi perkebunan sawit, dan lemahnya pengawasan menjadi masalah berlapis yang tidak kunjung terselesaikan. Ironisnya, wilayah-wilayah yang dulunya menjadi lumbung air kini berubah menjadi daerah kritis.

2. Sungai yang Dangkal dan Penuh Sedimentasi

Sungai-sungai yang dulu menjadi jalur kehidupan kini berubah menjadi saluran bencana. Penambangan illegal di daerah aliran sungai menyebabkan sedimentasi parah sehingga sungai kehilangan daya tampung. Saat hujan deras, air naik dengan cepat dan meluber ke pemukiman.

Ketika alam dirusak, maka seluruh sistem ekologinya runtuh. Sungai yang mati akan menenggelamkan manusia yang hidup.

3. Pembuangan Sampah ke Sungai: Kebiasaan Buruk yang Menyumbat Masa Depan

Selain masalah sistemik dari atas, perilaku masyarakat di bawah juga memberi kontribusi besar. Saluran air dan sungai dipenuhi sampah plastik, limbah rumah tangga, dan sisa industri kecil. Ketika hujan, air tidak menemukan jalan mengalir dan akhirnya meluap ke pemukiman.

Di titik ini jelas bahwa banjir bukan hanya soal alam, tetapi soal moral dan budaya manusia itu sendiri.


Dampak Lingkungan: Trauma Hujan yang Tidak Pernah Terbayangkan

Bagi masyarakat Aceh hari ini, suara petir dan hujan deras sudah cukup membuat jantung berdegup cemas. Anak-anak yang sebelumnya suka bermain hujan kini seketika berlari ketakutan ke rumah. Ibu-ibu mulai menyimpan pakaian di tas darurat, dan para ayah tidak bisa tidur karena takut air meningkat tiba-tiba.

Ini bukan lagi bencana fisik—ini bencana psikologis.

Trauma kolektif ini adalah bom waktu. Bila dibiarkan, akan melahirkan generasi yang hidup dalam kecemasan dan tidak mampu berpikir jernih untuk masa depan.


Dampak Ekonomi dan Sosial

Banjir menghentikan seluruh aspek kehidupan:

  • Sekolah tutup, masa depan pendidikan terhenti.
  • Ladang dan sawah tertimbun lumpur, petani kehilangan mata pencaharian.
  • Harga kebutuhan pokok melonjak.
  • Infrastruktur rusak parah dan biaya perbaikan sangat besar.
  • Mobilitas masyarakat lumpuh karena jembatan runtuh dan jalan terputus.

Rumah adalah tempat pulang, tempat orang membangun masa depan. Ketika rumah hanyut, yang hilang bukan hanya bangunan, tetapi harga diri dan harapan.


Ketika Hujan Turun, Ke Mana Kita Akan Berlari?

Pertanyaan ini kini sangat penting:
Jika hujan turun satu jam saja sudah banjir, bagaimana jika hujan tiga hari?

Apakah kita akan terus memperlakukan bencana sebagai takdir tanpa usaha?
Apakah kita akan menunggu korban lebih banyak baru bergerak?

Jika alam terus disakiti, tidak mustahil suatu saat Aceh akan menjadi wilayah yang tidak layak huni.


Solusi dan Jalan Perubahan

Untuk Pemerintah

  • Penegakan hukum tegas tanpa kompromi terhadap tambang dan pembalakan liar.
  • Rehabilitasi hutan secara nyata, bukan sekadar rapat dan konferensi pers.
  • Normalisasi sungai dan pembangunan tanggul berbasis ekologi, bukan proyek korupsi.
  • Tata ruang baru berbasis mitigasi bencana.

Untuk Masyarakat

  • Mengembalikan budaya menjaga sungai dan hutan sebagai bagian dari identitas Aceh.
  • Tidak membuang sampah ke sungai.
  • Ikut serta dalam gerakan penanaman pohon.

Untuk Pemuda

  • Menjadi pelopor perubahan dan pengawas lingkungan.
  • Membentuk komunitas pemantau alam dan relawan mitigasi bencana.
  • Mengadvokasi kebijakan publik berperspektif ekologis.

Aceh butuh pemimpin berani, bukan pemimpin yang sibuk mengamankan kursi politik.


Menyelamatkan Alam Berarti Menyelamatkan Masa Depan

Banjir Aceh 2025 bukan musibah biasa. Ia adalah peringatan keras dari langit, bahwa kita telah jauh dari tugas sebagai khalifah yang menjaga bumi. Allah tidak menurunkan bencana tanpa sebab. Ada pesan yang harus dipahami dan ada perubahan yang harus dilakukan.

Jika kita gagal belajar dari bencana, maka bencana berikutnya akan datang lebih besar dan lebih menghancurkan.

Menjaga hutan adalah menjaga nyawa.
Menjaga sungai adalah menjaga kehidupan.
Menjaga lingkungan adalah menjaga generasi.

Karena ketika hujan turun, kita seharusnya tidak berlari dari bencana, tetapi menyambut rahmat. Dan itu hanya mungkin jika alam kembali kita hormati.


Akhir Kata

Banjir telah mengajarkan bahwa Aceh tidak membutuhkan banyak orang pandai berbicara, tetapi membutuhkan banyak orang berani bertindak. Sebelum alam mengambil semuanya, mari kita selamatkan apa yang masih tersisa.

Aceh, jangan menyerah.
Bangkitlah—mulai dari menanam satu pohon hari ini.