Bencana seharusnya mempertemukan manusia dengan kemanusiaannya, bukan menjerumuskannya pada pelanggaran nurani. Namun di tengah puing-puing rumah, tenda pengungsian, dan kelelahan yang tak bertepi, ada rasa yang kadang tumbuh di tempat yang keliru—asmara yang lahir di waktu salah, dengan status yang tidak benar.
Bencana melemahkan banyak hal, termasuk pertahanan emosi. Saat dunia runtuh, manusia mencari sandaran. Dan di situlah bahaya bermula: ketika empati berubah menjadi ketergantungan, perhatian berubah menjadi kepemilikan, dan kedekatan berubah menjadi pembenaran.
Asmara terlarang sering bersembunyi di balik dalih kemanusiaan.
“Sekadar menguatkan,” katanya.
“Cuma tempat berbagi,” alasannya.
Padahal hati tahu, ada batas yang dilangkahi.
Relawan datang untuk menolong, bukan untuk menambah luka. Di saat korban kehilangan rumah, negara kehilangan wibawa, dan alam menagih tanggung jawab, relawan justru dituntut menjaga moral lebih tinggi dari keadaan normal. Sebab di situlah martabat kemanusiaan diuji.
Tidak semua rasa harus dituruti.
Tidak semua kedekatan pantas dirawat.
Ada cinta yang justru mulia ketika dihentikan. Ada rasa yang menjadi ibadah ketika disimpan, bukan ditumpahkan. Menjaga diri di tengah kekacauan adalah bentuk keberanian yang jarang dibicarakan.
Asmara terlarang di tengah bencana bukan sekadar soal hubungan personal, melainkan soal etika sosial. Ia mencederai kepercayaan, merusak tujuan kemanusiaan, dan menyisakan luka yang sering tak terlihat—terutama bagi mereka yang paling lemah.
Bencana akan berlalu.
Posko akan dibongkar.
Relawan akan pulang.
Namun dosa nurani akan menetap lebih lama daripada bekas lumpur di kaki.
Maka jika rasa itu datang, tanyakan pada hati:
Apakah ini menenangkan, atau justru merusak?
Apakah ini menolong, atau sekadar memuaskan?
Karena di tengah bencana, yang paling harus diselamatkan bukan hanya korban—tetapi juga akhlak manusia.
Penulis AZHARI