Perjalanan relawan bukan hanya soal jarak dan tujuan, tetapi juga tentang perjumpaan. Di antara debu jalanan, logistik yang dibagi rata, dan lelah yang dipikul bersama, ada rasa yang kadang singgah tanpa diundang.
Asmara di perjalanan relawan tumbuh sederhana. Bukan dari kemewahan, melainkan dari kepedulian. Dari secangkir kopi di pagi buta, dari saling menggantikan jaga posko, dari doa yang diam-diam dipanjatkan agar semua selamat sampai pulang.
Namun asmara dalam perjalanan bukan asmara yang bebas tanpa arah. Ia lahir di ruang pengabdian, sehingga semestinya dijaga dengan kesadaran. Tidak semua rasa harus disegerakan, tidak semua kedekatan harus diumumkan. Sebab tujuan utama relawan bukan saling memiliki, melainkan melayani.
Ada relawan yang memilih menyimpan rasa, menjadikannya energi untuk tetap ikhlas bekerja. Ada pula yang menjadikan perjalanan sebagai cermin: apakah perasaan ini tumbuh dari ketulusan, atau sekadar pelarian dari sepi dan lelah?
Perjalanan mengajarkan banyak hal. Tentang menahan diri ketika mudah tergoda, tentang menghormati batas ketika kesempatan terbuka, dan tentang kejujuran pada hati sendiri. Di jalan pengabdian, asmara diuji bukan oleh jarak, melainkan oleh nilai.
Relawan sejati tahu kapan harus melangkah bersama, dan kapan harus berjalan sendiri. Karena cinta yang baik tidak mengganggu misi, tidak mengaburkan niat, dan tidak meninggalkan luka bagi siapa pun.
Jika kelak perjalanan berakhir dan rasa masih bertahan, barangkali itulah tanda ia layak diperjuangkan. Namun jika rasa gugur di tengah jalan, itu pun bukan kegagalan—melainkan bukti bahwa nurani pernah dijaga.
Sebab dalam kisah relawan, asmara bukan tujuan akhir. Ia hanyalah bagian kecil dari perjalanan besar bernama pengabdian.
Penulis AZHARI