Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ayah Pergi dalam Banjir, Bantu Kami untuk Kehidupan

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:12 WIB Last Updated 2025-12-17T16:12:54Z



Ayah pergi bukan karena memilih. Ia diambil banjir—oleh air yang datang tiba-tiba, oleh alam yang marah, oleh kelalaian yang tak pernah diakui. Sejak hari itu, rumah kami bukan hanya kehilangan tiang, tetapi kehilangan penopang kehidupan. Ayah pergi, dan kami yang ditinggalkan dipaksa tumbuh lebih cepat dari usia kami.

Banjir Aceh 2025 mencatat banyak korban jiwa, tetapi tidak semua korban tercatat dalam statistik. Kami—anak-anak yang kehilangan ayah, ibu yang kehilangan pasangan, keluarga yang kehilangan arah—adalah korban yang hidup. Setiap hari kami bertanya: setelah air surut, siapa yang menanggung hidup kami?

Ayah adalah nafkah, pelindung, dan penentu arah keluarga. Ketika ia pergi, yang tersisa adalah kecemasan. Ibu berusaha tegar, tetapi kesedihan dan tanggung jawab datang bersamaan. Ia harus menjadi segalanya: pencari nafkah, pengasuh, dan penopang emosi keluarga. Dalam diam, ia menangis, karena tahu hidup tak memberi waktu untuk berduka terlalu lama.

Bagi kami anak-anak, kehilangan ayah bukan hanya kehilangan figur. Kami kehilangan rasa aman. Setiap hujan turun, ketakutan kembali. Setiap melihat air naik, ingatan itu datang. Trauma ini tidak terlihat, tetapi menggerogoti. Tanpa pendampingan, luka ini bisa membentuk masa depan yang rapuh.

Opini ini bukan ratapan. Ini permohonan hidup. Kami tidak meminta belas kasihan, kami meminta perlindungan. Negara harus hadir bukan hanya saat pemakaman, tetapi setelahnya—dalam pendidikan anak-anak yatim bencana, jaminan hidup keluarga yang ditinggalkan, dan pemulihan psikologis yang berkelanjutan.

Bantuan sekali tidak cukup. Kami butuh kepastian: sekolah yang terjamin, rumah yang layak, pekerjaan untuk ibu, dan pendampingan agar kami bisa bangkit. Kehilangan ayah dalam bencana bukan pilihan kami, tetapi masa depan kami masih bisa diselamatkan—jika ada keberpihakan.

Aceh punya adat, agama, dan nilai kemanusiaan yang kuat. Anak yatim adalah amanah. Keluarga yang ditinggalkan korban bencana adalah tanggung jawab bersama. Jika nilai-nilai ini hanya hidup dalam khutbah dan pidato, maka kami akan tumbuh dengan luka ganda: kehilangan ayah dan kehilangan kepercayaan.

Ayah pergi dalam banjir, tetapi hidup harus berjalan. Bantu kami untuk kehidupan—bukan dengan janji, tetapi dengan kebijakan yang melindungi. Sebab menolong keluarga korban bencana bukan kebaikan; itu keadilan. Dan dari keadilan itulah, harapan kami bisa tumbuh kembali.