Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kepahitan Pengungsi: Bendera Putih di Tengah Bencana Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:25 WIB Last Updated 2025-12-17T16:26:35Z



Bendera putih biasanya tanda menyerah. Namun di tengah bencana Aceh, bendera putih yang dikibarkan pengungsi bukan simbol kekalahan—ia adalah jeritan paling jujur dari perut yang lapar dan hati yang lelah. Ketika rumah tenggelam, pekerjaan hilang, dan bantuan tak kunjung datang, bendera putih menjadi bahasa terakhir rakyat: kami sudah di batas kemampuan.

Di tenda-tenda pengungsian, kepahitan itu nyata. Nasi dibagi tipis, air bersih terbatas, anak-anak menangis kelelahan, dan orang tua menatap kosong ke arah sungai yang belum benar-benar jinak. Pengungsi tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin didengar dan diselamatkan dengan layak.

Mengibarkan bendera putih adalah keputusan yang berat. Ia lahir dari rasa malu yang dikalahkan oleh kebutuhan. Dalam budaya Aceh, bertahan dan tidak mengeluh adalah kehormatan. Maka ketika bendera putih berkibar, itu tanda bahwa martabat telah terdesak oleh keadaan. Ini bukan drama; ini darurat.

Ironisnya, di saat pengungsi mengibarkan bendera putih, sebagian pejabat masih sibuk dengan laporan dan pencitraan. Bantuan tersendat oleh birokrasi, data tak sinkron, dan koordinasi yang lamban. Di lapangan, pengungsi belajar pahit: bahwa untuk mendapatkan perhatian, mereka harus menunjukkan keputusasaan.

Bendera putih juga menelanjangi ketimpangan. Ada yang mendapat bantuan berlebih, ada yang terlewat. Ada yang cepat dipeluk kamera, ada yang luput dari daftar. Di tengah bencana, keadilan seharusnya hadir paling awal—bukan paling akhir.

Namun bendera putih bukan akhir cerita. Ia adalah peringatan keras. Negara harus membaca tanda ini sebagai alarm kegagalan layanan dasar. Respons tidak boleh lagi simbolik. Logistik harus tepat sasaran, air bersih dan layanan kesehatan harus dipastikan, perlindungan anak dan perempuan harus menjadi prioritas.

Aceh memiliki kekuatan solidaritas. Relawan bergerak, warga saling menolong, dapur umum rakyat hidup dari gotong royong. Tapi solidaritas tidak boleh menggantikan kewajiban negara. Bendera putih tidak seharusnya berkibar di negeri yang berjanji melindungi warganya.

Di tengah bencana Aceh, bendera putih adalah cermin. Ia memantulkan kepahitan pengungsi dan menagih keberpihakan. Menurunkannya bukan dengan pidato, melainkan dengan kehadiran nyata—tepat waktu, tepat guna, dan bermartabat.

Sebab selama bendera putih masih berkibar, luka belum sembuh. Dan selama luka belum disembuhkan, nurani kita sedang diuji.


Penulis Azhari