Musibah banjir besar yang melanda Aceh pada akhir tahun 2025 bukan sekadar bencana alam biasa. Banyak masyarakat menamainya sebagai “tsunami kedua”, bukan karena datangnya dari laut, tetapi karena daya rusaknya yang menghancurkan kehidupan dalam sekejap. Rumah hanyut, jembatan putus, ribuan hektar tanah longsor, sekolah dan masjid tenggelam dalam lumpur, dan puluhan ribu warga harus mengungsi dengan pakaian yang menempel di badan. Suasana panik, suara tangis anak-anak, dan kesedihan keluarga yang kehilangan segalanya—semuanya mengingatkan kita pada gelapnya hari-hari setelah tsunami 2004 lalu.
Aceh kembali berduka. Luka lama kembali terbuka.
Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa setelah dua dekade bangkit dari tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah negeri ini, Aceh harus kembali menghadapi bencana dengan skala yang meruntuhkan mental masyarakat. Tapi itulah kenyataan yang hari ini harus kita hadapi. Banjir 2025 bukan hanya merusak fisik, tapi juga menghantam jiwa dan moral kolektif kita.
Ketika Air Mengambil Segalanya, Kita Belajar Arti Kehidupan
Bencana selalu datang tanpa mengetuk pintu. Ia menerjang tanpa bertanya, tanpa memberi kesempatan untuk bersiap. Dalam hitungan jam, harapan berubah menjadi puing. Orang-orang yang kemarin memiliki rumah layak dan pekerjaan tetap, hari ini tidur di tenda darurat, berbagi selimut dengan orang asing yang kini menjadi keluarga baru dalam penderitaan yang sama.
Di posko pengungsian, pelajaran hidup datang tanpa guru:
- Bahwa rumah bukan sekadar bangunan, tetapi tempat jiwa bernaung.
- Bahwa kekayaan bisa hilang, tetapi persaudaraan menyatukan kembali.
- Bahwa manusia sering sombong pada alam, tetapi ketika alam murka, manusia hanya bisa bersujud dan menangis.
Musibah ini mengajari kita kembali bahwa hidup terlalu rapuh untuk dihabiskan dalam kebencian, keserakahan, dan pertengkaran politik.
Refleksi: Apakah Kita Sudah Menjaga Titipan Allah?
Tidak semua bencana adalah murka, tetapi ada bencana yang menjadi teguran.
Banjir Aceh 2025 bukan hanya karena hujan deras dan air sungai meluap. Itu hanyalah pemicu. Yang sesungguhnya mematikan adalah:
- Hutan yang habis ditebang tanpa kendali
- Gunung yang dilubangi untuk tambang ilegal
- Sungai yang dipersempit dan dipenuhi limbah
- Pembiaran tanpa pengawasan
- Kebijakan yang tunduk kepada kepentingan ekonomi segelintir orang
Allah telah menitipkan Aceh sebagai tanah yang subur dan penuh rahmat. Tetapi tangan manusia merusaknya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya alam mengambil kembali keseimbangannya dengan cara yang pahit.
Jika hati kita masih hidup, kita akan bertanya:
“Berapa banyak lagi korban yang harus menderita, sebelum kita sadar?”
Hari ini bukan lagi waktu untuk saling menyalahkan.
Hari ini adalah saatnya untuk berubah.
Bangsa yang Besar Tidak Takut Bencana—Tetapi Belajar Darinya
Setiap tragedi adalah pintu menuju kedewasaan bangsa. Tsunami 2004 mengajarkan Aceh arti persatuan dan solidaritas seluruh dunia. Kini banjir 2025 hadir untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh melupakan pelajaran itu.
Kita harus membangun kembali, tetapi bukan dengan cara lama. Semua pihak harus bangkit:
- Pemerintah, dengan kebijakan yang adil, cepat, dan transparan
- Akademisi, dengan riset dan teknologi mitigasi bencana
- Pengusaha, dengan tanggung jawab sosial lingkungan
- Relawan dan organisasi, dengan kerja kemanusiaan tanpa batas
- Media, dengan visi edukatif, bukan eksploitasi kesedihan
- Pemuda, sebagai penjaga masa depan dan pengawal amanah lingkungan
Jika kita bekerja sendiri-sendiri, kita akan kalah.
Jika kita bersatu, kita akan kembali berdiri lebih kuat dari sebelumnya.
Harapan Masih Ada: Kita Tidak Sendiri
Di tengah kesedihan, Aceh memperlihatkan keindahan wajah kemanusiaan.
Ribuan relawan datang dari berbagai provinsi.
TNI, Polri, Basarnas, dan masyarakat bekerja sepanjang hari tanpa mengenal lelah.
Organisasi pemuda menyalakan dapur umum, membantu evakuasi, dan menghibur anak-anak.
Banjir memang merendam rumah, tetapi tidak berhasil memadamkan cahaya solidaritas.
Dan mungkin, inilah makna terbesar dari bencana ini:
bahwa manusia membutuhkan manusia lain untuk bertahan.
Saat tenda didirikan dan logistik dibagikan, kita melihat masa depan yang masih bisa diselamatkan.
Selama kita masih mau saling menolong, bangsa ini tidak akan runtuh.
Penutup: Jangan Biarkan Bencana Ini Berlalu Tanpa Makna
Banjir Aceh 2025 adalah tanda yang tidak bisa kita abaikan.
Tsunami kedua dalam rasa, meski berbeda bentuk.
Ia datang untuk membuka mata kita tentang rapuhnya hidup dan berharganya persatuan.
Hari ini kita berduka.
Namun suatu hari nanti, kita akan berkata:
“Dari musibah yang menghancurkan itu, kami belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.”
Semoga kita keluar dari bencana ini bukan hanya dengan pembangunan fisik, tetapi dengan pembangunan hati, moral, dan kesadaran lingkungan sebagai kewajiban suci.
Aceh akan bangkit.
Indonesia akan bersama.
Dan kita semua akan menjadi saksi bahwa air yang merendam tanah ini tidak bisa merendam harapan.
Penulis:
Azhari