Aceh bukan sekadar wilayah administratif dalam bingkai negara modern. Ia adalah entitas historis, kultural, dan spiritual yang sejak berabad-abad silam mendeklarasikan diri sebagai benteng Islam di ujung barat Nusantara. Dari pelabuhan-pelabuhan dakwah hingga dayah-dayah yang melahirkan ulama besar, Aceh tumbuh bukan hanya dengan pedang dan perdagangan, tetapi dengan iman, ilmu, dan ketaatan pada syariat.
Sejarah Aceh mencatat satu kaidah yang tak pernah berubah: ketika syariat dijunjung, Aceh tegak; ketika syariat dirongrong, Aceh retak. Inilah hukum sosial sekaligus hukum Ilahi yang berulang dari masa ke masa.
Al-Qur’an telah memberi peringatan tegas bahwa kebinasaan suatu kaum bukanlah datang tiba-tiba. Ia lahir dari pembangkangan yang dibiarkan, dari kemaksiatan yang dinormalisasi, dan dari kebenaran yang diperdagangkan demi kepentingan sesaat. “Dan betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan karena penduduknya berbuat zalim…” (QS. Al-Hajj: 45). Ayat ini bukan kisah masa lalu semata, melainkan cermin bagi setiap masyarakat yang mulai menjauh dari nilai ilahiah.
Di Tanah Rencong, syariat Islam bukanlah ornamen politik atau simbol budaya kosong. Ia adalah perjanjian moral antara manusia dengan Tuhannya, antara pemimpin dengan rakyatnya. Ketika syariat dilemahkan—entah dengan dalih modernitas, kebebasan tanpa batas, atau kepentingan ekonomi—yang terjadi bukan kemajuan, melainkan kekosongan nilai. Masyarakat menjadi cerdas secara teknologi, namun miskin adab; kaya secara materi, tetapi rapuh secara akhlak.
Fenomena merongrong syariat hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk penolakan terbuka. Ia kerap menyusup halus: membiasakan yang haram, mentolerir yang mungkar, menertawakan nasihat ulama, dan mencurigai orang-orang yang konsisten menjaga agama. Ketika amar ma’ruf dianggap kuno dan nahi munkar dicap intoleran, saat itulah tanda-tanda kebinasaan sosial mulai tampak—bukan dalam bentuk azab langit yang spektakuler, tetapi dalam kerusakan moral yang sistemik.
Sejarah umat Islam mengajarkan bahwa kehancuran suatu kaum sering diawali oleh rusaknya elitnya. Ketika pemimpin menjadikan hukum Allah sebagai beban, bukan sebagai pedoman; ketika keadilan ditukar dengan kompromi; dan ketika suara kebenaran dikalahkan oleh tepuk tangan mayoritas, maka kehancuran hanya menunggu waktu. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kebinasaan umat terdahulu terjadi karena mereka tebang pilih dalam menegakkan hukum—tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Aceh pernah berjaya bukan karena kekayaan alamnya semata, tetapi karena keberaniannya berdiri di atas prinsip Islam. Sultan, ulama, dan rakyat berjalan dalam satu poros nilai. Dayah menjadi pusat peradaban, bukan sekadar tempat ritual. Hukum ditegakkan dengan adil, bukan diperalat. Ketika poros ini retak, Aceh pun melemah—bukan hanya secara politik, tetapi secara ruhani.
Opini ini bukan seruan kebencian, apalagi penghakiman. Ia adalah peringatan penuh cinta untuk Tanah yang dimuliakan sejarah dan agama. Syariat tidak membutuhkan pembelaan dengan amarah, tetapi dengan keteladanan. Ia tidak akan hidup dengan paksaan kosong, melainkan dengan keadilan, kejujuran, dan kepemimpinan yang takut kepada Allah
.
Pelajaran abadi dari Tanah Rencong jelas: siapa pun yang merongrong syariat—baik secara terang-terangan maupun diam-diam—sesungguhnya sedang merongrong fondasi kehidupan itu sendiri. Dan sejarah, sebagaimana wahyu, selalu jujur mencatat akhirnya.
Aceh akan tetap berdiri selama syariat dijaga bukan hanya dalam qanun dan simbol, tetapi dalam akhlak, kebijakan, dan keberpihakan kepada kebenaran. Sebab binasa atau bangkitnya suatu kaum, pada akhirnya, ditentukan oleh sejauh mana mereka setia pada nilai yang mereka akui sebagai kebenaran.