Di antara tenda darurat, lumpur yang mengering di sepatu, dan malam-malam panjang tanpa listrik, ada rasa yang tumbuh pelan-pelan. Bukan cinta yang meledak-ledak, bukan pula janji yang tergesa. Ia hadir sebagai perhatian kecil: memastikan sudah makan, menanyakan lelah, atau sekadar duduk berdampingan saat sunyi menekan dada.
Kami dekat.
Namun kedekatan ini tidak serta-merta menuntut kepemilikan.
Dalam dunia relawan, rasa sering kali lahir dari empati. Melihat seseorang berjuang tanpa pamrih, menolong tanpa memilih, membuat hati mudah tersentuh. Tapi tidak semua rasa harus segera diberi nama, apalagi diklaim sebagai hak.
Ada kedewasaan ketika seseorang memilih menjaga sanubari—milik diri dan orang lain.
PDKT di antara relawan bukan tentang siapa yang lebih dulu menyatakan, melainkan siapa yang lebih mampu menahan diri. Karena di balik rompi kemanusiaan, masing-masing membawa masa lalu, luka, dan tanggung jawab yang tak selalu bisa diceritakan.
Dekat bukan berarti harus memiliki.
Kadang, kedekatan adalah ujian: sejauh mana kita mampu menghormati batas, menahan ego, dan tidak memanfaatkan situasi rapuh untuk kepentingan perasaan pribadi.
Menjaga sanubari adalah bentuk cinta yang paling sunyi, namun paling jujur. Ia tidak memaksa berlabuh sekarang, tetapi percaya bahwa jika memang ditakdirkan, pelabuhan yang pasti akan ditemukan pada waktu yang tepat—tanpa melukai siapa pun di perjalanan.
Di kisah relawan, aku belajar:
Tidak semua yang tumbuh harus dipetik hari ini.
Ada rasa yang cukup disimpan, dirawat dalam doa, dan dibiarkan matang oleh waktu.
Karena cinta yang baik tidak lahir dari keadaan darurat, tetapi dari kesiapan dua hati yang utuh.